Sabtu, 12 Oktober 2013

Tragedi di Gunung Lawu



Kebun teh, Kemuning
Solo… Hampir 2 bulan tlah berlalu sejak aku meninggalkanmu, sebuah kota yang banyak mengajariku tentang makna kehidupan. Di sini, tak kutemukan pemandangan yang biasa kudapatkan di tempatmu. Sawah yang menghampar indah bagaikan permadani, suara orchestra para kodok yang menggaung di tengah malam, semua berganti dengan kebisingan dan kesumpekan khas ibukota. 

Sendiri, tiada kawan di sisi, (jelaslah, libur 2 minggu, kawan2 pada pulkam semua,,, yang tertinggal hanyalah mahasiswa miskin seperti diriku ini… T_T) kuhabiskan waktuku kali ini dengan bercengkerama bersama Syekh Google… Lelah mata ini memandang segala hiruk pikuk manusia, hingga ingin rasanya pergi ke tengah rimba, memanjakannya dengan hijau dedaunan… 

Entah mengapa tiba2 teringat akan hijau2 di sebuah kebun teh, di kawasan Kemuning, Candi Cetho… Sebuah pemandangan yang unik, dengan keramahan khas penduduk. Pernah ku bertanya pada seorang bapak2, “Masjide teng pundi nggih pak?" (Masjidnya di mana ya pak?) Eh, bapak tadi malah kebingungan dan balik tanya, “Masjid niku nopo mas?" (Masjid itu apa ya mas?) Ha2… Aku malah di tunjukin ke sebuah pure kalo mau sembahyang atau sholat.

Itulah sebuah cuplikan dari serangkaian adegan konyol yang kulalui
di tahun lalu. Jangan kau kira itu sebuah kisah konyol yang lucu, bahkan sebaliknya, sebuah kisah konyol mengerikan, yang hampir berakhir dengan sebuah tragedy yang bisa saja merenggut nyawa 4 orang anak manusia.

Berani karena Bodoh

“Teet…” bel berbunyi tanda waktu ujian telah habis. Seorang mahasiswa tingkat 3 di Ma’had Abu Bakar Solo keluar dengan cengar-cengir bahagia (kl om Jamrud bilang mirip kebo di sawah.. he2). Senyum itu bukanlah tanpa alasan. Karena ujian kali ini adalah hari terakhir dari serangkaian ujian yang melelahkan.

Beginilah suasana ma'had kl ujian, sepi...
“Sup, jalan2 ke TW yuk?” ajak seorang teman, Fudhail namanya. “Tawangwangu? Hmm… Sama siapa ja?” tanyaku balik. “Ya ni lagi cari orang…” jawabnya tanpa dosa. Kami pun mulai menawari beberapa teman dan  akhirnya hanya dapat 2 orang, Rahmat tri dan Abdussiddiq. “Gimana kl sekalian naik ke puncak Lawu?” tawar Fudhail. Aku yang kala itu belum pernah merasakan naik gunungpun langsung menjawab, “Boleh, tapi besok jam 9 pagi dah nyampe Solo ya! Q ada kerja soalnya.” Ha2… dasar anak aneh, emangnya bertualang di alam bebas bisa dijadwal seenak udel kita.. Tapi itulah aku beserta jiwa mudaku, tanpa berfikir macam2 langsung menyanggupi, ya karena aku pikir naik gunung itu tak ubahnya seperti jalan2 santai, tapi bedanya medannya naik, itu saja. Jika aku renungkan lagi, betapa beraninya diriku waktu itu. Tanpa tahu kondisi medan, tanpa persiapan mental, fisik, dan logistic, mau2 aja di ajak masuk ke hutan. Sebuah Keberanian yang lahir dari Kebodohan.

Persiapan Singkat dan Tak Padat

“Bawa apa ja mas?” tanyaku pada mas Agung, seniorku yang sudah melanglang buana di dunia pendakian. “Beneran mau naik? Tanpa persiapan gitu pri?” tanyanya meyakinkan. “Iya… Cuma semalem doang…” Bla, bla, bla… setelah berbincang sebentar, akhirnya aku cuma membawa jaket, pakaian ganti, dan jas hujan. Aku pun langsung kembali ke kampus. Di sana sudah menunggu 3 orang kurcaci yang juga gak jauh beda kaya aku, gak bawa apa2 kecuali tas sekolah. Bahkan Rahmat di tasnya cuma ada buku2 pelajaran. Dia gak pulang terlebih dahulu karena rumahnya cukup jauh. Setelah 1 jam persiapan berlalu, kami pun berangkat menuju TKP dengan hati riang gembira.

4 lakon utama kisah ini

Rapat Kerja di Masjid Basecamp

Dari sinilah kami diusir... T_T
Jam 9 malam, kami tiba di Pasar Tawang mangu. Aku membeli beberapa peralatan dan makanan, diantaranya senter, kaos tangan, roti, dan mie. Kali ni ada tambahan pasukan 2 orang, temannya Fudhail, namanya lupa.. Total kami menjadi 6 orang. Selama perjalanan, hawa dingin mulai merasuk, maklum, gunung lawu itu terkenal akan udara dinginnya. Setelah tiba di basecamp, kami istirahat di masjid. Sambil merapatkan komposisi pasukan. 

Rahmat penunjuk jalan, Fudhail penyapu, dan berangkat jam setengah 11. Itulah hasil kesepakatan rapat kami. Masih ada sisa waktu 1 jam untuk tidur, kamipun segera merebahkan diri dan mencari pewe (posisi wuenak) masing2. Tapi tetap saja aku gak bisa tidur karena belum terbiasa dengan udara dingin.

Perjalanan Menuju Puncak

Aku, Rahmat, dan Sidiq, berdiri di depan loket masuk. Biaya perorang kala itu 7500. Masih terngiang di telinga kejadian tak enak barusan. Ya, ketika aku baru ja beranjak tidur di masjid, tiba2 dibangunkan oleh sang penjaga, katanya sih pintu masjid mau dikunci. Kami hanya bisa pasrah dan beranjak pergi.
Celingukan kumencari 3 orang yang tersisa. Eh ternyata mereka sudah di depan menanti. Masuk menerobos lewat perkampungan penduduk. Weleh2… bener2 nih anak, sukanya yang gratis2 mulu.

Kami pun berjalan dan terus berjalan menembus kegelapan malam. Malam itu tak ada pendaki lain yang menyusul ataupun kami susul. Di tiap pos kami berhenti dan beristirahat. Bahkan tidak di pos pun kami beristirahat. He2, maklum, aku dan Siddiq baru pertama kali ni. Ingus mulai keluar terus, karena hawa dingin semakin menusuk. Malam itu, kami benar-benar bersyukur, karena cuaca amatlah mendukung. Cerah tak berawan. Menikmati kerlap-kerlip bintang, dan indahnya lampu kota Magetan. Walaupun sebenarnya dari tadi aku menahan cenut2, karena jalur Cemoro Sewu yang berbentuk anak tangga ini memang bikin paha cekot2. Tapi kubulatkan tekad untuk terus melangkah. Sekalipun harus merayap-rayap.

Sendang Drajad,di sinilah tempat wudhu kami.
Sayup-sayup mulai terdengar adzan Shubuh. Kami masih dalam perjalanan menuju pos 5. Hmm… Fajar mulai menyingsing. Segera kami mencari tanah lapang untuk mendirikan sholat. Alhamdulillah, sampai juga kami di pendopo Sendang Drajat. Cesss,,,, bergidik bulu roma ketika menyentuh air dari Sendang Drajad. Bukan karena keramat atau apa, tapi karena dinginnya seperti es. Jas hujanpun pun segera digelar setelah kami semua selesai berwudhu. Kali ini sang penunjuk jalan yang menjadi imam, Rahmat tri. Duuuhhhh… Sholatnya lama bener… Jujur ja waktu itu kurang khusyuk karena telapak kaki serasa ditusuk2 ma jarum saking dinginnya. 

Matahari mulai mengintip dari balik peraduannya, dan mengubah segalanya menjadi kemerah2an. Cukup manis untuk dikenang, sekalipun kami tak membawa alat dokumentasi. Biarlah memori ini tetap tersimpan di kepala saja.

Warung sakti Mbok Yem
Kami beristirahat di puncak Hargo Dalem, tepatnya di warung sakti Mbok Yem. Setelah makan mie rebus plus telur dan teh anget, kami berjemur sejenak di pelataran, bercengkerama dengan para pendaki lain, menikmati suasana persahabatan khas pegiat alam bebas. Aku tak berniat untuk menyambangi puncak tertinggi Hargo Dumilah, padahal jaraknya sangatlah dekat, mungkin perjalanan 20 menit. Entahlah, mungkin lain kali saja, kali ini aku sudah cukup merasa capek.


Awal Tragedi

“Yuk turun, kerja nih ntar aku..” rajukku ke teman2. “Ok,” jawab mereka. 2 orang diantara kami sebelumnya sudah turun duluan, yakni temannya Fudhail yang terlupakan (namanya). Katanya sih perutnya sakit, dah gak kuat nahan, makanya bis sholat tadi langsung turun lagi lewat jalur yang sama.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Sesuai kesepakatan, kami berempat akan turun melalui jalur Cemoro Kandang. Setelah meninggalkan rumah makan mbok yem, tersaji di depan kami sebuah pertigaan. Kami pun mengambil jalur ke kanan. Mau tanya juga gak ada orang lain selain kami. Kata Rahmat sih, ini juga jalur Cemoro Kandang, tapi kayaknya baru dibuka. Ha2.. Asal tahu aja, itu adalah jalur menuju ke Ngawi, Jawa Timur, alias jalur ke Candi Cetho (tentunya kami tahu hal ini setelah kejadian ini berakhir). Tapi itulah kami, yang penting jalan aja, toh di dada kami masih tersimpan bara semangat anak muda (atau lebih tepatnya kebodohan anak muda… He2,,,)

Tersesat di Tengah Hutan

Sabana yang memanjakan mata (sori, semua foto dari google,
cz kita gak bawa kamera waktu itu...)
Padang sabana yang hijau terhampar indah di depan kami. Sesekali ada rerimbunan bunga edelweiss. Betapa menakjubkannya ciptaan Allah ini. Kami masih terus menyusuri jalur setapak yang seakan2 mulai pudar, mungkin karena jarang dilewati. 

“Kok berhenti?” tanyaku ke Rahmat. “Potong jalur yuk! Ni kalo kita turun ntar bisa ngirit tenaga,” jawabnya sambil menunjuk ke sebuah bukit yang seolah2 menjadi tempat berlabuh nanti. “Okelah, aku ngikut ja…” Kami pun meluncur, tanpa keahlian navigasi dan peralatan seperti kompas dan peta, lari menuruni bukit2, masih dengan hati riang, tanpa mengetahui takdir yang masih tersembunyi di hadapan kami.

Satu, dua, tiga, entah berapa bukit2 kecil yang telah kami lalui. 2 jam kami terus berjalan, tapi belum ketemu juga ma jalur pendakian. Kekhawatiran mulai menyelimuti hati kami. Bagaimanapun juga kami hanyalah sekumpulan anak manusia yang tak bisa hidup tanpa berinteraksi dengan orang lain. Berteriak-teriak kami hingga kerongkongan kering, tapi seolah2 tak ada tanda2 kehidupan. Kami hanya memiliki sebotol aqua yang berisi air keruh Sendang Drajad, dan sebungkus kacang kulit. Akhirnya kami berhenti sejenak, dan memutuskan untuk putar arah, balik kanan, berharap mendapati kembali jalur pendakian semula. Aku berjanji dalam hati, kelak jika kembali melakukan ekspedisi tak akan pernah keluar lagi dari jalur pendakian! Kecuali memang dalam rangka latihan navigasi, tentunya dengan segala perangkat dan ahlinya. 

Disinilah kami mulai merasakan bahwa tidak ada daya dan upaya melainkan milik Allah semata. Kami senantiasa berdoa, dan terus berjalan, tanpa saling menyalahkan, karena itu hanya akan memperkeruh keadaan. Kami mencoba berfikir mengambil segala hikmah dari ujian ini. Genangan air mata mulai terlihat di mata Sidiq, maklumlah, dia yang termuda diantara kami. Dia sedih karena teringat akan ayahandanya. Adapun aku, seolah2 seluruh dosa terbayang di pelupuk mata. Ya Rabb… Jangan kau matikan terlebih dahulu hambamu yang penuh berlumur dengan dosa ini. Berikan kesempatan bagiku untuk memperbaiki segala kesalahanku….

Sebuah Titik Terang

Ketika kau takut melangkah, maka perhatikanlah seorang bayi, 
bagaimana dia mencoba untuk berjalan. Maka kan kau dapati bahwa setiap manusia itu pasti kan terjatuh. Namun hanya manusia bermental bajalah yang mampu bangkit dari kejatuhannya. Karena hidup itu ibarat menaiki sepeda. Agar kau tak terjatuh maka kau harus senantiasa menjaga keseimbangan. Bagaimanakah caranya? 
Dengan terus bergerak ke depan dan senantiasa mengayuhkan kaki.

Diam bukanlah solusi. Yang bisa kami lakukan hanyalah terus melangkah. Ya, melangkah dan melangkah, tanpa tahu kemana arah dan tujuan. Hanya keyakinan kamilah yang menjadi sandaran dan alasan untuk terus melanjutkan perjalanan. Kami memang gegabah, tapi kami tak akan pernah menyerah. Karena kami yakin bahwa Allah itu Maha pengasih, tak akan menyia2kan doa seorang hamba dan membenci hambanya yang putus asa..

Jalurnya ketutup tumbuhan, jadi harus disibak biar ketahuan.
Posisi sudah tak sesuai tatanan awal. Siddiq menjadi yang terdepan, entah dapat tenaga dari mana, seolah2 bangkit dari dalam dirinya sebuah kekuatan terpendam. Rahmat menjadi yang kedua karena jalan tertatih-tatih setelah kakinya terkilir, adapun Fudhail, tetap setia menjadi penyapu. Dari segi fisik, mungkin dialah yang paling kuat, namun aku bersyukur memiliki teman sepertinya, rela membantu teman yang berfisik lemah (aku), dan sabar menanti jika aku terduduk untuk menarik nafas sejenak.

Dari kejauhan kulihat Sidiq sedang menaiki sebuah bukit. Dia yang tadinya seolah2 berjalan bagai setengah lari, tiba2 terduduk. Aku yang memang agak tertinggal, mulai khawatir, apakah dia akan menyerah dalam perjalanan kali ini? Oh, tidak, semoga itu tak terjadi, tak bisa kubayangkan bermalam di hutan tanpa perlindungan. Bisa2 terkena hipotermia karena udara dingin khas pegunungan. Setelah mendekat, ternyata terlihat semburat cahaya terpancar dari wajahnya. Wajah yang tadinya tertutup oleh awan, mulai berganti secerah rembulan. Alhamdulillah, allahu akbar… Di depanku terlihat jalan setapak, agak tertutup dengan rerumputan. Kami sangat gembira, seolah2 segala beban telah terlepas. Walaupun perjalanan entah masih sampai kapan kami tak tahu, tapi dengan menemukan jalur pendakian ini, seolah2 aku mendapatkan sebuah suntikan tenaga baru. Ya sejauh apapun perjalanan yang masih tersisa, selama kami mengikuti jalur, aku yakin pasti akan ada ujungnya. Minimal akan sampai ke pemukiman penduduk. Alhamdulillah… :)
 

Bertemu dengan Manusia

Di Cemoro Kembar inilah,
kami diberi 1,5 Botol Aqua besar...
Setelah berjalan dengan riang gembira, kami mulai meneruskan kembali senda gurau pemecah keheningan yang sempat terhenti karena situasi pelik tadi. Kami mencoba berlomba-lomba mencari hikmah dari setiap kejadian tadi, dan senantiasa mengakhiri dengan ucapan syukur.

Di belakang, terdengar suara derap kaki, ternyata kami disusul oleh serombongan pendaki. Alhamdulillah, aku semakin yakin bahwa kami telah berada di jalur yang tepat. Kami pun mempersilahkan mereka untuk di depan, karena kami memang tak bisa berjalan cepat. Wuuih.. Kulihat tas mereka sebesar2 badan orang dewasa. Mungkin rata2 80 liter bahkan lebih. Yang terdepan pun membawa golok cukup besar. Tak bisa disangkal, jalur yang kami lalui ini memang banyak ranting2 yang menghalangi. Bahkan mulai ditutupi oleh rerumputan setinggi lutut, sehingga perlu disibak agar terlihat jalurnya. Pertanda bahwa jarang sekali dilewati oleh para pendaki. Bisa aku simpulkan bahwa jalur ini hanya dilalui oleh orang2 tertentu, yakni pendaki professional. Tak seperti kami, betapa menyedihkannya kondisi kami saat itu.

Hari yang Cerah untuk Jiwa yang Pantang Menyerah

Dibalik rumitnya rute yang kami lalui kali ini, tak bisa dipungkiri, tersimpan berjuta keindahan yang menawan. Hutan yang lebat, bunga2 yang bermekaran dengan alami, jernihnya udara yang menyejukkan, kicauan burung yang bersahut2an, dan suasana gunung yang masih sangat alami karena jarang terjamah oleh tangan2 serakah manusia. Hanya satu yang kurang. Taka da sumber mata air. Walaupun sebenarnya sayup2 kami mendengar suara gemuruh air sungai, tapi tak ada waktu dan tenaga yang tersisa untuk mencarinya. Alhamdulillah, kami sempat mendapat sumbangan satu setengah botol aqua besar dari para pendaki tadi. Mungkin mereka kasihan melihat kondisi kami saat itu.

Berjam-jam kami terus menuruni bukit2. Pos-pos pendakian sudah kami lalui, entah tiga atau empat. Sore sudah mulai menjalar. Kami berpacu dengan waktu. Ya, jangan sampai kami melalui malam di tengah hutan.
Untuk pertama kalinya di sepanjanga perjalanan ini dadaku mengembang dipenuhi oleh rasa gembira. Tahukah kawan mengapa? Karena aku melihat sebuah ladang. Ya, ladang penduduk yang hijau ditanami dengan sayur2an. Bukan karena aku ingin mengambil sayurnya, tapi karena itu pertanda bahwa kami sudah dekat dengan pemukiman penduduk. Walaupun kaki sudah serasa lumpuh dan mata sungguh ingin diistirahatkan (karena semalaman tidak tidur) kami masih tetap menjaga semangat untuk tetap melangkah.

Ini nih Candhi Kethek, tadinya mau sholat di halamannya
tapi di larang Fudhail.
Candi Kethek, itulah nama yang terpampang di sebuah papan nama. Kami sangat bersyukur karena telah tiba di sebuah pintu masuk jalur pendakian cetho. Tapi perlu diketahui, ketika itu aku masih belum tahu, karena aku kira itu Cemoro Kandang, sebuah jalur yang hanya berjarak 500 meter dari penitipan motor kami di pintu Cemoro Sewu. Ingin rasanya segera menunaikan shalat dhuhur dan ashar, tapi Fudhail mencegahku, karena di situ adalah tempat penyembahan berhala. Aku pun mengurungkan niatku.

Tak jauh dari candi Kethek terdapat sebuah sungai yang sangat jernih. Kami pun bersih2 di situ. Kala itu tak terpikirkan olehku untuk meminum airnya. Karena aku mengira sebentar lagi sudah banyak warung terpampang di pinggiran jalan sepanjang Tawang mangu.

Awalnya kami agak kebingungan agar bisa keluar dari komplek candi, tapi setelah berputar2 akhirnya ketemu juga pemukiman penduduk. Alhamdulillah, lagi2 sebuah senyuman mengembang dari wajah lusuh kami, yang mulai menguning, diterpa oleh sinar mentari sore hari. Sebuah sore yang cerah, tersaji bagi jiwa yang hampir menyerah.


Badai belum Berlalu

“Lho, jalan rayanya mana?” tanyaku polos. Yang kulihat hanyalah sebuah pasak bertuliskan Jenawi, nama desa yang kami singgahi. “Iya, tawangmangunya masih jauh,” jawab Rahmat. Tulangku seakan dilolosi, lemas tak berdaya. Rahmat berkali-kali minta maaf karena ekspedisi kali ini tak berjalan sesuai rencana. Yah, bagiku mudah saja memaafkannya, karena sudah selamat sampai sini pun aku sudah sangat bersyukur.
Haus mulai menggerogoti kerongkonganku. Aku sudah tak tahan. Akhirnya aku meminum air dari irigasi. Segar rasanya. Alhamdulillah… Fudhail dan Rahmat berpencar mencari pertolongan, adapun aku dan Sidiq terseok-seok tertinggal jauh di belakang. Lelah yang bertumpuk menghalangi kami untuk menikmati indahnya kebun teh yang terhampar di kanan kiri sepanjang jalan.

“Cemoro Kandang masih jauh gak pak?” tanyaku setelah beristirahat di salah satu rumah penduduk. “Cemoro Kandang??” jawabnya malah balik tanya. “Iya pak, Cemoro Kandang, base camp Pendakian Lawu di Tawang mangu,” jelasku. “Oo… Masih jauh mas, sekitar 25 kilo…” Glek… Allahu akbar… sejauh itukah kami tersesat? Berjalan 25 kilo lagi? Hati kecilku berontak langsung menolak.
“Kalo mau ke sana gimana pak?” tanyaku lagi. “Sampean ngojek dulu ke Kemuning karena di sini gak ada angkutan mas. Nah, dari Kemuning nanti naik angkutan sampe terminal Tawangmangu, dari sana nanti tinggal naik angkot ke arah basecamp pendakian,” jelasnya semakin membuatku lemas. “Duuh, gimana ni Diq, kakiku bener2 dah gak kuat.” Sidiq hanya menjawab, “Ya jalan pelan2 ja, sambil nunggu dua teman kita.” Okelah, kami berduapun berjalan terseok2, kemudian memutuskan untuk sholat di pinggir kebun teh, setelah itu tidur sambil menunggu 2 kawan kami. Ada sebuah pemandangan unik. Ketika kami sholat, orang2 atau penduduk yang melintas melihat keheranan ke arah kami. Usut punya usut, ternyata kampung yang kami singgahi ini adalah kampung hindu. Sebagaimana aku paparkan di awal cerita, masjid pun mereka tak tahu apa itu.

Kemudahan setelah Kesukaran

Setelah rebahan, kami memutuskan untuk terus berjalan. Dari kejauhan kami melihat dua buah motor menghampiri kami. Ternyata Rahmat dan kakaknya datang memberikan pertolongan yang sangat berarti bagi kami. Alhamdulillah… Ternyata dia memiliki saudara di Kemuning. Aku, Sidiq, dan Fudhail pun dilangsir menuju rumah kakanya Rahmat tri dengan kedua motor tadi. Tepat adzan maghrib, kami tiba di kediaman beliau. Setelah sholat, kami langsung dijamu bak seorang pemenang. Makan besar sepuasnya. Kata seorang bapak sih, kami beruntung bisa selamat hingga menemukan perkampungan. Tapi apapun itu, semua adalah takdir yang sudah Allah tentukan bagi kami. Terima kasih mas, semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan bagi seluruh keluarga mas…

Setelah Isya’, kami diantar dengan mobil baru milik salah seorang saudara beliau. Katanya sih sekalian ngrayen (entahlah dalam bahasa indonesianya apa, mungkin “uji coba”). Aku tak begitu faham percakapan yang terjadi selama di mobil, karena aku langsung tertidur diatas empuknya jok baru.
1,5 jam perjalanan telah kami lalui, dan akhirnya tiba juga di base camp. Kami langsung menuju penitipan motor, mengambil motor, kemudian pamit kepada para penolong kami. Dengan rasa kantuk yang tertahan, kami pulang menuju kediaman… Alhamdulillah… Ekspedisi ini berakhir dengan banyak sekali faidah yang bisa kami petik. Sungguh benar bahwa pengalaman adalah guru terbaik bagi seseorang. Semoga kawan2 pembaca juga bisa mengambil manfaat dari kisah ini. Wassalam…

Al ‘Ashimah, 10.10.13

Abdurrahman al Fatih – Supriyadi


Thanks to:
1.       Allah ‘azza wa jalla, atas kesempatan hidup yang diberikan untuk kami.
2.       Rekan2 pendaki, Rahmat tri yang selalu mencoba menjadi ketua yang bertanggung jawab, Siddiq yang memijat kaki2 kami ketika istirahat, Fudhail yang dengan sabar dan setia selalu mengawal langkah2 kami, dan 2 teman Fudhail yang -mohon maaf- namanya terlupakan.
3.       Mas2 pendaki, atas 1,5 botol aqua besarnya, dan ternyata tanpa kami sadari, mereka membantu membuka jalan agar mudah kami lewati, betapa banyak ranting2 yang cukup besar sudah tertebas ketika kami lewati.
4.       Keluarga kakaknya Rahmat tri, atas segala pertolongannya, hanya Allah yang bisa memberikan balasan dengan sebaik-baik balasan.
5.       Bapak penduduk yang memberikan pelatarannya untuk tempat singgah sementara kami.
6.       Mbok Yem, semoga warungnya sukses selalu.

24 komentar:

  1. dengan karyamu orang akan mengenal dan mengenangmu

    BalasHapus
  2. Akan sangat berarti bagi saya jika kawan2 mau memberikan masukan atau komentar... Bagi yang gak punya akun cukup pilih anonymous... :)

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah banyak ilmu yang bisa didapat
    Banyak pelajaran yang bisa diambil
    Banyak pula Hikmah yang menjadi cambuk bagi jiwa2 yang blm bisa mentadabburi indahnya alam dan kebersamaan.
    Teruslah berkarya...............!

    BalasHapus
  4. sebuah pengalaman yg tidak bisa dibeli dengan uang sebesar apapun.
    dan mendaki gunung adalah letak sahabat sejati akan diuji.

    BalasHapus
  5. dilain waktu kita lanjutkan lagi expedisi bareng-bareng kita bro :D

    -mas bro tulisannya pake yang lengkap aja jangan di singkat-singkat gak baik buat kesehatan. opooooooooooooooo hahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ok man..... Iye besok tulian gak disingkat dech.... Ntar akhir semester kita ndaki bareng lagi, insya allah... disiapkan aje fisiknya.... katanya mujahid, harus kuat lah.........

      Hapus
  6. ya ! jiwa muda memang butuh tantangan,tapi ingat niat harus di luruskan bahwa kita berpetualang sebagai salah satu idad kita untuk menegakan dienul islam dan mengharap ridho Alloh.semoga kita termasuk orang2 yang di ridhoi Alloh.Amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya tadz... insya allah... semoga kita senantiasa diberikan kekuatan untuk menjaga niat...

      Hapus
  7. Allah ign mgjrkan kpd hambany tntg sswtu hal takut,cemas,khwtr tp smua itw tersiram dgn mengingatNy "alaa bidzikrillaahi tatmainnal quluub" ktka ujian itw dtg ana brtny Ya Allah hamba tw ini ujian cintamu tp knp trkdg dri ini msh mgeluh?,prtnyaan itw kmudian trjwb dr seorg ustdzah krn kt manusia biasa bkn malaikat, krn ana tau ktka ana mggtNya mk Ia mggt ana,& keajaiban Allah itw dtg kpd se2org yg mmprcyainy

    BalasHapus
  8. Perjalanan yg menengangkan, gak kebayang klo aku yg nyasar, psti dah nyerah duluan. seperti aku di lawu dulu, (he gayane mlaku disiki, jebul malah nyasar muter jalan malahan) ada hikmah disetiap perjalanan kita, yg jelas selalu ada pertolongan dari Allah untuk hambanya yg mau berusaha & berdoa. (he gitu ya kong) :D

    semangat maju terus kong....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya reh.... setiap perjalanan itu pasti ada hikmahnya, tentunya bagi orang2 yang mau mengambil pelajaran.... alhamdulillah pendakian pertamamu berjalan sukses tapi ya.... yang penting jangan pernah kapok reh..... :) akhir semester kita mau ekspedisi, kl mau ikut boleh...

      Hapus
  9. Balasan
    1. iya mas... tuliskan jg ea... trus masukin foto2 qt kmren... nnt klo s4 ane msukin foto2nya bru antm edit.... I Like...

      Hapus
    2. kamu ajalah.. ntar tak posting disini... :)

      Hapus
  10. kejadianya konyol bgt tadz...di gunung lawunya,
    lanjutkan ekspedisinya mas. .saya tunggu ceritanya lg ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya mas... biarpun konyol, yang penting ada manfaatnya buat kita semua... :)

      Hapus
  11. Masih banyak hal di semesta yang tak kita tahu
    bahkan tak pernah kita tahu
    Yah,, inilah kehidupan
    Tiada kata yang mampu, sekecil apapun itu
    dari kita
    membuat kita bangga
    -sesumbar sembari menepuk dada


    Semesta yang kecil ini sudah pun seakan tak pernah mempunyai tepi
    kalau begitu,
    apakah nian kita yang seperti ini akan terlihat
    sedikit berarti??
    -Semburai senja pun tak pernah dusta

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah.. bahasane keduwuren... yusron iki mesti.... di syarh to....

      Hapus
    2. iyo ki
      saking ideidene ngendep kelamaen
      haha

      btw
      lumayan og mas
      memuaskan wlu gmbar e copas.. :v
      gk mengecewakan
      ahaha

      Hapus
  12. Mantabz. Pengalaman yang sangat berharga. Salam kenal dari orang kemuning hheeee...

    BalasHapus

 

Perhatian!!!

Boleh Co-Pas asal jangan sampai merubah makna dari isi artikel. Dan juga tolong dicantumkan sumbernya ya... Syukron, baarokallahu fiekum...

Blogroll