Kamis, 17 Oktober 2013

Bunga Rampai Kehidupan 1



“Kamu ko bisa nyasar ke ma’had gimana ceritanya?” Tanya salah seorang teman sekosku yang juga kakak kelasku, baik ketika di Ma’had Abu Bakar Solo maupun saat ini di LIPIA.”Waah, panjang mas ceritanya…” jawabku singkat sambil tersenyum malu. He2… Yups, tulisan kali ini berawal dari dialog singkat tersebut. Sebuah goresan ringan yang semoga bermanfaat bagi kawan2 yang sudi menyempatkan waktunya untuk membaca… Next….

Latar Belakang Keluarga

Aku tumbuh di sebuah keluarga kecil, dengan penghasilan yang kecil pula. Terlahir sebagai anak bungsu, dari 4 bersaudara, tak menjadikanku sebagai anak manja. Walaupun tak dapat dipungkiri, perhatian ibuku terhadapku jauh lebih besar daripada perhatiannya terhadap 3 kakakku yang semuanya perempuan.

Sejak kecil pendidikan agamaku hanyalah di Sekolah dan TPA, maklum kedua orang tuaku hanyalah seorang pedagang lulusan SD.  Tapi jangan salah, soal medidik anak beliau aku anggap cukup sukses (kecuali dari sisi agama saja). Hal ini aku sadari ketika melihat kualitas ketiga kakakku, selalu memiliki nilai akademik yang tinggi, bahkan bisa dikatakan langganan rangking satu. Dan akhlak mereka pun santun-santun khas orang jawa pedesaan, tidak neko-neko dan tidak pacaran (kecuali setelah lulus sekolah dan bekerja).

Ibuku adalah seorang pedagang yang tiap ba’da Shubuh harus sudah berangkat ke pasar. Aku pun tentunya selalu membuntuti dari belakang. Ketika menginjak usia 5 tahun, mungkin karena kenakalanku yang semakin menjadi, beliau menitipkanku di SD tempat kakak-kakakku belajar. Niat awal bukan untuk mendaftar, hanya sekedar titip, tapi entah kenapa di akhir tahun, guruku waktu itu menaikkanku ke kelas dua.

Adapun Bapakku, beliau adalah tipe orang keras. Beliau memang gak pernah mukul pake tangan, tapi kalo mukul selalu pake benda terdekat yang bisa dijangkau oleh tangan, entah itu sandal, sepatu, tongkat, atau bahkan bangku. Juga bekerja sebagai pedagang, tapi bedanya pedagang keliling, menjual beras dan minyak tanah. Dahulu, beliau sering kali begadang tengah malam, menghabiskan malam-malamnya bersama kawan-kawannya demi bermain kartu, tentunya dengan taruhan, dan anehnya, aku juga sering ikut menemani ayahku begadang. Entah kenapa, terasa nyaman saja berada di sisi beliau, sekalipun waktu itu aku tak faham apa yang beliau kerjakan. Tapi Alhamdulillah, sekarang sudah taubat, rajin sholat berjamaah di masjid, bahkan menjadi seorang ‘aktifis’, aktifis yasinan maksudnya…

Yah, itulah sekilas mengenai keluargaku, kering dari nilai2 rohani, karena yang menjadi prioritas mereka adalah hubungan sesama (hablum minannas) saja, adapun hubungan dengan sang Pencipta (hablum minallah) terabaikan…

Beranjak Dewasa

“Kamu kok gak sholat?” Tanya salah seorang temanku kepadaku. “Ntar kalo dah tua juga bakal sholat sendiri,” jawabku ringan. Astaghfirullah, betapa mudahnya kata-kata itu keluar dari mulutku waktu itu, karena dalam benakku, setiap orang pasti akan bertaubat di masa tuanya, padahal sejatinya kita tak tahu berapa lama kontrak hidup kita di dunia ini. Kata-kata yang masih kuingat jelas hingga kini, walaupun itu terjadi ketika aku masih mengenyam bangku SMP.

Bagiku saat itu, sehari bisa sholat 3 kali saja sudah sangat bagus. Karena lembar mutaba’ahku (yang wajib diisi oleh tiap siswa) seringkali terlihat seperti biji jagung muda, bolong-bolong. Kenakalanku pun juga mulai bertambah, walaupun tak senakal teman-temanku.

“Nak, terserah kamu mau lanjutin ke SMA atau STM, tapi yang pasti Bapak gak bisa nguliahin kamu,” jelas Bapakku. “Ya pak, Supri ke STM ja, toh orang kuliah nanti ujung-ujungnya kerja juga,” jawabku santai.

Akhirnya akupun mengambil STM jurusan Grafika (desain). Di STM ku ini agak lain, duduk di kelas hanya 2 tahun dan 1 tahun PKL (Praktek Kerja Lapangan). Aku mendapat jatah PKL di Gramedia Jakarta. Di Jakarta ini aku mulai tertib sholat 5 waktu, karena di tanah rantau ini aku untuk pertama kalinya hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara, sehingga merasa hanya kepada Allah-lah tempat mengadu. Tapi tetap saja masih sering telat-telat.


Terjebak Rutinitas

Setelah lulus STM, aku langsung ditarik bekerja di sebuah percetakan spanduk di Serpong, Tangerang. Bosku kali ini adalah seorang Chinness yang gila kerja. Kami, para karyawan, mendapat mess di lantai 3 dan 4, adapun lantai 1 dan 2 digunakan untuk bekerja. Tinggal di sebuah ruko bagaikan tinggal di penjara. Tiap harinya kami bekerja bahkan bisa lebih dari 12 jam. 

Kerja, tidur bentar, bangun, makan, kerja lagi, itulah rutinitasku sehari-hari. Terjebak dalam sebuah rutinitas adalah sebuah hal yang sangat membosankan. Pada mulanya aku sangatlah bangga ketika lulus sekolah langsung bisa bekerja. Tapi sekarang, saat-saat yang paling aku benci adalah ketika check clock masuk, dan saat-saat paling membahagiakan adalah saat check clock pulang.

Tujuan Hidup

“Kamu kerja itu buat apa?” tanya salah seorang teman baruku, Luqman namanya. “Buat nyenengin ortu,” jawabku agak bingung. “Kalo tujuan hidup?” Hmm… Apa ya, baru kali ini aku ditanya pertanyaan macam ini. “Hidup mapan, punya anak istri, bahagiain ortu,” kira-kira begitulah jawaban asalku saat itu. Lantas akupun diberi penjelasan bahwa tujuan jin dan manusia diciptakan itu untuk beribadah kepada Allah. “Masa’ beribadah terus? Lha kerjanya gimana? Masa gak makan minum?” jawabku menyangkal. “Itulah kesalahan kebanyakan manusia saat ini, memahami ibadah hanya sebatas sholat, puasa, dan zakat. Coba fahami, mawar dan melati itu termasuk jenis bunga, tapi bunga itu tak sebatas mawar dan melati saja. Segala aktifitas itu jika diniatkan untuk ibadah, dan sesuai dengan tuntunan rasul, maka akan menjadi ibadah di sisi Allah, bahkan maaf ni, kencing aja kalo tata caranya sesuai tuntunan Rasul akan menjadi ibadah!” jelasnya panjang lebar. Aku hanya bisa terbengong-bengong. Baru kali ini mendapat penjelasan seperti ini.

Hidupku saat itu memang terasa hampa. Sering sekali terlintas dalam benak, apakah aku akan seperti ini terus hingga mati nanti? Bekerja siang malam tanpa mempedulikan hal-hal lain. Hati serasa kosong, kering kerontang. Sepertinya ada sesuatu yang hilang. Pelarianku saat itu hanyalah internet. Ya, aku punya hobi baru, yaitu chatting. Berkenalan dengan teman2 baru, saling tukar fikiran, hingga perasaan jenuhpun untuk sementara terobati. Hingga aku secara naluriah mencari room-room (grup) islami. Alhamdulillah, aku bertemu dengan seorang yang bernama Luqman tadi. Semoga persaudaraan karena Allah ini akan senantiasa terjaga. Bertemu karena Allah, berpisah juga karena Allah.

Hidup Baru dengan Semangat Baru

Aku bagaikan terlahir kembali. Bagiku pintu awal seseorang mendapat hidayah adalah ketika ia tahu untuk apa dia hidup di dunia ini. Tapi hidayah itu ibarat benih. Kau tahu benih? Dia akan tumbuh subur dan kokoh ketika dirawat dan dijaga dengan baik, serta rajin dipupuk dan disirami. Jika tidak, maka lama kelamaan akan layu dan mati.

Dengan semangat baru, aku mencoba merawat dan memupuk hidayah yang mulai tumbuh di ladang hatiku. Banyak cara yang aku tempuh, ada kajian via telpon memanfaatkan call converence, yaitu satu panggilan untuk 5 orang, dan tiap orang nanti membawa beberapa orang lagi, kemudian penanggung jawab nanti menelpon ustadz yang akan memberikan tausyah kepada para peserta. Ada juga chatting, kami membuat grup khusus yang memiliki jadwal kajian. Dan yang paling berkesan bagiku adalah ketika dikenalkan dengan mas Angga Cnes. Bersama dengannya, aku mengikuti sebuah kajian rutin seminggu sekali, disertai dengan beberapa agenda kegiatan islami. Dan yang paling mengasyikkan kala itu adalah  setelah kajian, kami bersama-sama berlatih seni bela diri aikido. Jujur saja, ini pertama kalinya aku belajar bela diri. He2… Ya, karena kata Pak Instruktur, mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah…

Serpong – Pamulang

Pamulang, di sinilah kajian rutin yang aku ikuti tiap minggu. Awalnya aku selalu dijemput oleh mas ANgga Cnes, akan tetapi karena merasa tak enak, maka aku berencana membeli sepeda ‘onthel’ (kayuh) agar tidak terus merepotkan beliau. 

Sepeda onthel telah berhasil aku dapatkan, Alhamdulillah… Di suatu minggupun aku melakukan survey, mencoba mengukur waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan Serpong – Pamulang. Persiapan sudah oke, sepedapun aku kayuh. Wush, wush, wush, terkadang sepeda aku kebut, tapi lebih sering santai, he2, maklum jalannya kadang naik sangat tinggi. Akhirnya setelah beberapa waktu berlalu, sampai juga ke tempat kajian. 1,5 jam, itulah waktu tempuh yang aku butuhkan dalam perjalanan kali ini dengan kecepatan santai.

Kuberanikan diri menghadap atasan dan ijin untuk tidak lembur setiap hari rabu. Setelah ijin berhasil aku kantongi, maka rutinitasku setiap hari Rabu adalah pulang kerja jam 5 sore, langsung tancap gas menuju Pamulang, dan tiba di tempat kajian pukul setengah 7. Karena kajian dimulai ba’da isya’, maka aku harus tiba sebelum isya’, agar tidak terlambat dan bisa mengambil nafas sejenak. Acara ta’liim dan olah raga biasanya slesai jam setengah sebelas. Tak jarang aku pulang tengah malam dan tiba di mess jam 1. Pernah suatu ketika aku kebocoran ban di tengah jalan, padahal perjalanan masih sangat jauh. Akhirnya aku harus menuntun sepeda, menembus kegelapan malam di tengah kesunyian, apalagi lampu-lampu di sepanjang  jalan kala itu masih sangat jarang, terkadang aku harus menunggu mobil atau motor yang melintas agar jalanan terlihat kembali, dan baru tiba di mess kurang lebih jam 2 dinihari. Sebuah kenangan manis yang patut untuk dikenang. Merintis upaya kecil, demi mejaga bibit kecil dari pohon hidayah. :)

Insya Allah berlanjut ke Bunga Rampai Kehidupan 2….

Batavia, 16.10.13
Abdurrahman al Faatih - Supriyadi


13 komentar:

  1. Akan sangat berarti bagi saya jika kawan2 mau memberikan masukan atau komentar... Bagi yang gak punya akun cukup pilih anonymous... :)

    BalasHapus
  2. Insyallah, blognya menginspirasi banyak orang pak......
    Semoga sukses menaklukan dunia dengan ilmu Allah......

    BalasHapus
  3. :)) keren..

    ditunggu kisah selanjutnya hai Fatih..

    :D

    BalasHapus
  4. Sejak kapan nma mas supri berubah mnjadi fatih... hhee
    Keren mas... keep spirit and next on... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha2... itu rencana mau tak jadikan nama anakku kelak nu.... doakan ya...
      biar bisa jadi muhammad al fatih yang baru....

      Hapus
  5. Hmm. mantab subhanallah kong, itulah pertama kalinya mas Abdurrahman al Faatih - Supriyadi (tak panggil kakong) krn dialah shbt yg bisa memberi nasehat/pertolongan/bahan candaan sperti tokoh komik kakong. hehehe semangat truussss kong, semoga selalu menjadi inspirasi.... :D :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. ha2...insya allah selalu semangat reh.. doakan kita ya..... :)

      Hapus

 

Perhatian!!!

Boleh Co-Pas asal jangan sampai merubah makna dari isi artikel. Dan juga tolong dicantumkan sumbernya ya... Syukron, baarokallahu fiekum...

Blogroll