Minggu, 20 Oktober 2013

Bunga rampai Kehidupan 2 - Tamat



“Kalo kamu mau belajar agama, mending ke Solo ja… Di sana banyak sekali kajian-kajian ilmiah dan pondok-pondok gratis…” ujar Lukman merekomendasikan sebuah kota untuk aku singgahi kelak. “Hmm… Kalo bisa aku pengen sekolah yang bisa disambi kerja akh… soalnya kl gak kerja mau makan pake apa aku. Udah gak ada suplai dari ortu nih,” jawabku menjelaskan.


Niat yang Menggebu-gebu

Selalu terngiang dalam telingaku sebuah hadist, “tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslim,” (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.) Aku masih termangu, di usiaku yang sudah 19 ini, aku belum tahu apa-apa tentang agama yang sudah aku ‘klaim’ sejak kecil ini. Kenapa selama ini aku hanya terobsesi untuk mengumpulkan perhiasan dunia yang kelak pasti akan aku tinggalkan. Dilema masih saja menghantuiku. Antara kerja atau balik sekolah lagi (kuliah). Setan masih saja membisik-bisiki agar aku terus melanjutkan kehidupanku yang membosankan ini. “Coba kau pikir, apa kata keluargamu kalo kamu keluar kerja dan justru masuk pondok?” itulah salah satu bentuk bisikannya yang selalu membuatku ragu untuk melangkah menapaki sebuah perubahan. 

من ترك شيئا لله عوّضه الله خيرا منه  
"Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, 
niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik.”

Strategi harus aku susun. Sudah aku bulatkan tekadku untuk hijrah ke negri Batik. Tapi tidak sekarang. Setengah tahun lagi, tepatnya ba’da ‘iedul fitri 2009, tepat 2 tahun setelah aku bekerja di Serpong ini. Sebelum deadline, aku akan mengumpulkan bekal materi untuk kehidupanku di kota yang baru nanti. Aku percaya Allah akan senantiasa memudahkan hambanya yang bersungguh-sungguh mecari ridhonya. Semoga…

Pindah ke Kota Batik

“Kamu nanti ketemu Alfin ya, ini nomornya, biar nanti dia yang bantu kamu di sana,” lagi-lagi Lukman merekomendasikan sebuah nama untuk aku hubungi. “Ok, insya Allah,” jawabku singkat.
Untuk pertama kalinya aku pergi sendirian ke kota Solo. Sebuah kota yang terkenal akan kerajinan batiknya. Dari Semarang menuju Solo bukanlah hal yang sulit. Cukup naik bus Safari sekali saja dengan ongkos 20ribu, kita sudah diantar ke Solo dengan tanpa kepanasan karena full ac

Ini nih bus langgananku... Semarang-Solo 20 ribu ja... :)
“Ntar kl dah sampai tunggu di Goro Assalam ya,” begitulaha bunyi sms dari kawan baruku, Alfin. Ternyata Alfin juga bernasib sama sepertiku. Jika aku pelarian dari Semarang, maka dia pelarian dari Klaten. Jangan salah faham, maksud pelarian di sini adalah lari untuk sementara hijrah dari kampung halaman menuju Solo demi menuntut ilmu, karena mendapat tekanan dari keluarga yang tidak sefaham dengan kami atau lingkungan sekitar yang meresahkan. 

“Mas, dah sampe Goro Assalam nih,” kata kondektur kepadaku. Alhamdulillah, tiba juga aku di kota Solo. Ternyata Goro Assalam adalah sebuah supermarket yang cukup besar dengan pelataran parker yang sangat luas, dekorasinya pun islami. Ternyata pemiliknya adalah ibu Aminah, yang juga pemilik Pondok Modern Assalam dan percetakan Tiga Serangkai. Sebuah bukti bahwa seorang muslim yang taat itu bisa sukses juga dalam urusan bisnis. 

Setelah menunggu agak lama (karena Alfin masih ada acara) akhirnya aku dijemput oleh temannya Alfin dan digiring menuju ke sebuah gedung tua yang eternitnya sudah bolong sana-sini dan catnya sudah mengelupas. Dan terdapat pohon matoa besar yang menjadikan suasana angker lebih terasa. Islamic Center, itulah nama yang kubaca dari papan yang tertempel di sana.


Berkumpulnya para Pelarian

Suka duka bersama rekan seperjuangan.
Setelah aku pertimbangkan dengan masak-masak, aku putuskan untuk tinggal di Islamic Center Solo dan mengikuti program PESMA (Pesanteren Mahasiswa). Di Pesma ini, kami hanya dituntut mengikuti pelajaran setelah ba’da isya’ dan ba’da subuh. Adapun siang, kami bebas mau belajar di kampus atau bekerja. Program ini memang disetting untuk anak-anak yang berprofesi sebagai mahasiswa. Di sini aku mendapatkan kawan-kawan pelarian banyak sekali. Ada yang dari Lampung, Madiun, Jepara, Purwodadi, Klaten, Ciamis, dan Jogja.

Seminggu di Solo, Alhamdulillah aku sudah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan swasta yang masih bergerak di bidang keahlianku, percetakan. Kali ini aku menjadi seorang layouter LKS (buku pegangan siswa sekolah), dan lagi-lagi tanpa aku sadari, aku mulai terperangkap dan tersibukkan oleh dunia. Kerja dari pagi hingga maghrib, bahkan hari libur pun sering masuk. Pernah aku ditegur oleh pengurus PESMA kala itu, tapi masih saja aku anggap sebagai angin lalu. Aku masih belum sadar saat itu ibarat keluar dari lubang buaya, masuk ke mulut singa. 

Saat Dilema Melanda

“Kamu ke sini sebenarnya mau apa sih? Katanya menuntut ilmu? Ko kayaknya gak ada perubahan dari kehidupan di Tangerang. Masih tersibukkan oleh dunia…” begitu tegur salah seorang teman. Kembali aku tercenung, galau memikirkan hal tersebut. Benar juga, katanya mau belajar agama, tapi kok malah sibuk kerja, bahkan tiap taklim sering tertidur karena kecapekan. Baiklah aku bertekat tahun depan masuk ma’had abu bakar. Sekarang nabung dulu buat bekal besok.

Di sinilah aku mencari bekal untuk memahami Islam.
Manusia boleh berencana, tapi Allah jualah yang menentukan. Sekali lagi pikiranku diterpa kegalauan. Program Pesma diupgrade, karena tidak maksimal, maka tidak ada yang diizinkan untuk bekerja. Tapi bagi mahasiswa masih diperbolehkan mengikuti program ini. Hanya ada dua pilihan bagiku. Tetap kerja tapi angkat kaki dari Islamic, atau resend dari kantor dan fokus belajar. Ya Rabb, bagaiamana ini. Jika keluar sekarang, aku belum punya tabungan untuk fokus belajar. Alih-alih buat daftar ke ma’had, untuk biaya makan sehari-hari aja dari mana nanti. Saat dilema melanda, hanya kepada Allah aku meminta daya dan upaya.

“Man salaka thoriqon, yaltamisu fiihi ilman, sahhalallahu lahu bihi thoriiqon ilal jannah, barang siapa yang menempuh sebuah jalan demi menuntut ilmu, niscaya dengannya Allaha akan memudahkan jalannya menuju surga. Tau gak kamu, jalan ke surga aja dimudahkan, apalagi sekedar jalan di dunia. Yakinlah, Allah gak akan menelantarkan hambanya yang dengan ikhlas menuntut ilmu. Sabar ja, nanti insya Allah ada jalannya. Nanti kita cari info-info kerja sambilan. Jualan-jualan apa kek… Gak usah khawatir,” nasihat seorang kawanku, yang dulu juga nekat pergi dari Lampung demi menuntut ilmu di Solo. “Hmm… iya mas, insya Allah aku coba…” balasku dengan hati yang lebih tenang. Ya, disinilah fungsi ujian, mengukur sejauh mana tingkat tawakalku kepada Allah.

Hari itu di kantor sedikit gempar. Karena aku tiba-tiba resend atau mengundurkan diri dengan alasan ingin melanjutkan kuliah. Aku senantiasa meyakinkan diri akan keputusanku ini dan selalu mencoba mengingat bahwa barangsiapa yang meninggalkan sesuatu demi mencari ridho Allah maka niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Pasti dan pasti kan terjadi, karena Allah tak pernah ingkar janji. Aku yakin itu dan memang harus wajib yakin.

Bersiasat Dihadapan Keluarga

Ayah ibuku pasti tak akan pernah setuju jika aku keluar kerja hanya demi belajar Agama. Emang apa untungnya belajar agama? Kalo dah lulus mau jadi apa? Kerja apa? Toh gak bikin kenyang. Bahkan belum lama aku ditanya: “Emang bagus ya pelihara jenggot itu?” tanya Bapakku bersungut-sungut. Asal kawan-kawan tahu aja, jenggotku waktu itu padahal cuma 3 biji, tapi aku hanya diam tersenyum, karena aku tahu, bapak bukanlah orang yang mau menerima penjelasan dari orang kecil macam aku. Kata seorang ustadz yang masih aku ingat, bahwa dakwah kepada ortu itu gak membutuhkan banyak kata. Tampilkan saja akhlakmu. Tunjukkan perubahanmu setelah mengenal Islam, semoga dengan itu, Allah melunakkan hati beliau. Yah, semoga….

Dalam meminta ijin kali ni, aku harus bersiasat, mencoba menggunakan tauriyah atau kalimat yang ambigu (bermakna dua) karena berbohong bukanlah kebiasaan dari keluargaku. Miskin bolehlah, tapi nilai-nilai moral tetap harus dijunjung tinggi.

“Bu, supri pengen kuliah,” aku mencoba membuka dialog dengan ibuku, karena memang ibukulah yang lebih memahamiku. Adapun ayahku, tak hanya aku, kakak-kakakku pun jarang berbicara dengan beliau, kecuali memang sangat dibutuhkan.
“Kuliah apa?” selidiknya.
“Kuliah jurusan sastra,” maksudku sastra arab, karena jurusanku nanti memang bahasa arab dan studi Islam.
“O.. Dimana?”
“Di UMS, Universitas Muhammadiyah Solo,” jelasku. Aku gak bohong, karena Ma’had Abu Bakar memang bekerja sama dan di bawah naungan UMS.
Ibuku hanya diam saja. Aku yakin dalam diamnya beliau berfikir dan akan merundingkannya dengan ayah dan kakak-kakakku nanti.

“Yawda, kamu boleh kuliah, terserah kamu, tapi ingat! Jangan sekali-kali ngrepotin kakak-kakakmu!” tegas ibuku keesokan harinya.
Alhamdulillah, sumringah seketika wajahku, karena sudah mendapat ijin dari keluarga. Masalah dana, aku memang semenjak lulus STM selalu pantang meminta uang dari keluarga, jadi bagiku itu bukanlah syarat yang baru. Toh rejeki yang ngatur bukan orang tuaku, rejekiku ada di tangan Allah semata.

Pertolongan dari Allah

Setelah dua hari keluar dari kantor, aku langsung mendaftar ke Ma’had Abu Bakar. Setelah itu aku mencoba mencari info-info sambilan. Walaupun pada awalnya aku utamakan yang masih dalam lingkup bidang keahlianku. Tapi jika memang tidak ada, menjadi apapun aku mau.

Di sinilah aku menghabiskan pagi hari demi sesuap nasi.
“Kang Supri, coba deh ke sini. Ada yang mau saya  bicarakan,” panggil Pak Sunari, seorang pengurus Islamic Center.
“Ya pak,” jawabku sambil ngekor masuk ke sebuah ruangan.
“Gini nih, kita kan mau bulletin da’wah, nah kebetulan ntum kan lagi kosong, mau gak bantu kita?” tanya beliau.
Maa syaa aLlah, betapa senangnya hatiku kala itu. Langsung aku mengangguk senang tanda setuju.
“Tapi maaf lho, kita gak bisa ngasih seperti di kantor ntum yang dulu,” imbuh beliau.
“O gpp pak, bagi saya bisa buat makan sehari-hari aja udah syukur banget.”

Alhamdulillah, di tempat kerjaku kali ini aku tak sekedar bekerja demi sesuap nasi, tapi juga ada muatan dakwah islami, sebagai bekal di akhirat nanti. Memang mukafaah yang diterima tidak seberapa, tapi aku yakin balasan di sisi Allah itu jauh berlipat ganda, dibanding dengan balasan dunia yang tidak ada apa-apanya.

Seketika aku teringat sebuah ayat,  
"walladziina jaahaduu fienaa, lanahdiyannahum subulanaa", 
Barang siapa yang bersungguh-sungguh di jalan Allah, maka sungguh pasti akan ditunjukkan jalannya. Di situ ada dua huruf taukid yang berarti 2 penekanan pada kata lanahdiyannahum. Sungguh Allah pasti menjamin kemudahan dan membukakan jalan bagi orang yang bersungguh-sungguh dengan ikhlas merintis jalan menuju ridhoNya. 
Lantas apa lagi yang perlu kita ragukan? :)

Yah begitulah perjalananku hingga sampai ke ma’had kawan… Sebenarnya masih banyak yang ingin aku ceritakan, tapi untuk saat ini aku cukupkan sampai sini saja. Semoga semua yang aku paparkan ini bisa diambil hikmahnya. “Wa amma bini’mati rabbika fahaddist “ (Dan tehadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur) menyampaikannya). Jangan lupa sertakan selalu aku -yang lemah ini- dalam doamu... Wassalam.. :)

Bintaro, 20.10.13

Abdurrahman al Faatih - Supriyadi




5 komentar:

  1. Akan sangat berarti bagi saya jika kawan2 mau memberikan masukan atau komentar... Bagi yang gak punya akun cukup pilih anonymous... :)

    BalasHapus
  2. .........يَسّرَ الله أمورَك

    BalasHapus
  3. Catatan yg bagus... blognya apalagi... boleh minta templatenya g akh??

    BalasHapus

 

Perhatian!!!

Boleh Co-Pas asal jangan sampai merubah makna dari isi artikel. Dan juga tolong dicantumkan sumbernya ya... Syukron, baarokallahu fiekum...

Blogroll