Sabtu, 06 Juli 2013

Pendakian Sumbing via Garung-Wonosobo


S-U-M-B-I-N-G. Itulah tujuan kami saat ini. 6 motor, 12 orang. Rombongan dari solo ini beriringan memecah kesunyian jalan Selo – Magelang. Membelah dua gunung kembar, Merapi dan Merbabu. Yups, perjalanan kali ini memang cukup melelahkan, melewati 3 kota, Boyolali-Magelang-Temanggung, baru kemudian tiba di Wonosobo. Mungkin lebih tepat jika disebut touring plus pendakian.

4 jam telah berlalu. Alhamdulillah kami telah tiba dengan selamat di Basecamp pendakian Sumbing, tepatnya di desa Garung. Memang bangunan tempat berkumpulnya para pendaki itu terletak tak jauh dari jalan raya, sehingga mulai terbayangkan bahwa rute pendakian kali ini benar-benar dari kaki gunung. Di sini tersedia beberapa toilet dan kran untuk mengisi persediaan air bersih. Kita juga diwajibkan mengisi buku laporan dengan biaya administrasi Rp 4000,-.


Parwoko, ?, Yahya, ?, ?, ?, ?, ?, Supri, Khoirul, Ustadz Kholiq
Parwoko, ?, Yahya, ?, ?, ?, ?, ?, Supri, Khoirul, Ustadz Kholiq
Kumpul di Basecamp sebelum memulai pendakian

Kabut mulai turun, jarak pandang pun terbatasi, dan dinginnya udara mulai merasuk tulang. Kami masih bertahan di basecamp demi mengumpulkan tenaga yang terkuras selama perjalanan tadi, sekaligus menunggu satu teman yang mau menyusul, yaitu mas Ari Tiwul. Tak berapa lama, semua anggota telah terkumpul. Total menjadi 13 orang, dibawah pimpinan ustadz Abdul Kholiq dan penyapu adalah Khoirul. Rute yang telah kami tentukan adalah rute baru, karena memang jalur pendakian via garung ini mempunyai 2 rute, yakni rute lama dan baru.

Pendakian pun Dimulai


"Halo bro..." modernisasi telah masuk ke desa...:D
Jam menunjukkan angka 5. Kami telah berkumpul di basecamp kedua bernama STICKPALA. Setelah briefing sebentar dan berdoa bersama, tim mulai meluncur, menyusuri perkampungan penduduk, disambut dengan sapaan “Halo bro…” dari bocah2 kecil. Dan juga senyum ramah khas jawa dari orang tua. Sebuah pemandangan yang mungkin akan kita rindukan ketika sudah kembali ke kota.

3 Km adalah jarak yang diperlukan untuk tiba di Pos 1. Sebelum memasuki hutan, kami melalui makadam yang amat sangat panjang. Mungkin ada yang belum tau apa itu makadam? Makadam adalah tipe jalan yang disusun dari batu-batuan. Disebut makadam karena penggagas ide pertama kali adalah Mac. Adam. Selain trek yang cukup menanjak dan minim bonus, di jalur ini kanan dan kirinya hanyalah ladang tembakau. Sungguh ironis memang, Jutaan orang menggantungkan hidupnya kepada sesuatu yang merusak jutaan orang lain.
Setelah melahap habis makadam, kita akan memasuki kawasan hutan pinus. Tak berapa lama, akan terlihat sebuah pohon dengan tempelan sebuah seng bertuliskan Pos 1 – Bosweisen. Alhamdulillah.

Istirahat di Pos 1 Bosweisen
Makadam dengan kanan kiri ladang tembakau
 
Perjalanan masih berlanjut. Tak berapa lama kami berjalan meninggalkan pos 1, sungai melintas memotong jalur pendakian. Brrr…. Dinginnya air tak menghalangi kami untuk menikmati kesegarannya. 

Menuju Pos II Gatakan berlanjut ke Pestan

Hutan, semak belukar, dan rumput. Itulah yang kami terjang di jalur menuju pos 2 ini. Jalan tetap masih menanjak, namun tidak terlalu ekstrim. Jumlah pendaki yang banyak, menjadikan perjalanan agak lambat. Karena harus saling menunggu. Disinilah mulai terjadi problem. Khoirul, sang penyapu, mulai merasakan sakit di perutnya. Katanya sih karena kebanyakan makan tadi sebelum naik. He2. Alhasil kami bergantian membawakan carriernya. Belajar saling berbagi dan saling merasa. Memang sudah selayaknya hal itu dilakukan, sebagaimana sabda nabi kita, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”.

Merangkak dan terus merangkak, tibalah kami di pos 2 Gatakan, dan tak lama setelah itu nampak sebuah memoriam yang dipasang di sebuah pohon besar. Dan dibawahnya tertanam batu berukirkan nama pendahulu kita, “Tri Antono”.

Sejenak melihat peta, tujuan selanjutnya adalah sebuah tempat bernamakan Pestan. Kami baru sadar, disinilah perjalanan yang sesungguhnya dimulai. Cukup menguras tenaga. Medan adalah tanah merah yang sangat licin dan berpasir. Karena sebagaimana tipe jalur pendakian pada umumnya yang berupa jalan air. Tak hanya kelelahan, rasa kantuk pun mulai menyergap, sehingga ketika berhenti sebentar saja rasanya ingin langsung rebahan, tidur. Tapi disinilah fungsi teman, saling mengingatkan dan memberi motivasi. “Udah dekat kok, puncaknya kelihatan tuh…”  kata2 yang jelas keliatan bo’ongnya, tapi terbukti efektif menumbuhkan semangat.

Perjalanan harus terus berlanjut, menuju Pasar Watu
Berjuang melawan KANTUK di Pestan

2 jam 45 menit telah berlalu dari pos 2. Alhamdulillah saat itu juga kami tiba di Pestan. Sebuah tempat lapang yang dipenuhi rerumputan hijau. Memang sih kelihatannya cocok buat buka tenda, tapi sebenarnya tempat ini sangat berbahaya. Rawan badai dan tidak ada pepohonan atau batu yang bisa dijadikan sebagai penahan angin.


Belajar Menerima Kekalahan

Sekalipun mata sudah 5 watt, kami tetap berusaha berjalan sesuai rencana awal, yaitu buka tenda di Watu kotak. Pasar watu adalah rintangan terakhir menuju watu kotak. Jalur masih tetap menanjak. Diawali dengan tanah merah, kemudian diikuti dengan bebatuan2 yang berserakan. Mungkin karena banyaknya batu yang berserakan, baik besar maupun kecil ini, maka tempat ini dinamakan Pasar Watu. Di tanjakan ini banyak teman yang mulai berguguran. Ada yang istirahat, duduk teramat lama, ada pula yang mulai mencari lubang2 di antara bebatuan buat rebahan, tidur. Hingga akhirnya dibangunkan oleh penyapu baru kita, mas Ari Tiwul.

Di mana ada tempat datar, di situ kita buka tenda..
Darurat sih....
Bersama Khoirul di tanda kecil


Setelah tanjakan habis, maka kami terhalang oleh sebuah bukit batu, jangan sampai mengambil jalan lurus, karena sesat dan menyesatkan. Tapi ikutilah arah panah menuju puncak, yaitu ke kiri, turun mengitari punggungan bukit. Dan disinilah ternyata akhir puncak dari rasa kantuk kami. Segera kami mencari tempat yang cocok untuk buka tenda. Rombongan terpecah menjadi 3 tenda yang terpisah. Dari sini kami belajar bahwa tak selamanya segala sesuatu itu bisa berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Belajar menerima kekalahan. Boleh2 saja kita membuat berbagai rencana indah, tapi yakinlah bahwa apa yang Allah rencanakan bagi kita itu jauh lebih indah. :-)

Fajar Menyingsing


“Oaahemm…..” kulirik jam di hp bututku. Astaghfirullah, jam setengah enam. Bergegas aku membangunkan Khoirul tuk tunaikan sholat shubuh. Ya, semalam aku baru bisa tidur jam 2. Aku dan khoirul memang kebagian jatah tenda kecil, ukuran 2 orang. Ternyata teman2 yang buka tenda diatas tendaku sudah bangun semua. Menggigil kami berdua menghadap sang Khaliq, karena dinginnya udara merasuk tulang.

Bergelantungan menikmati SIndoro

Lamat2 sinar  matahari mulai menyapa. Hangatnya belaian mentari sungguh menjadi sebuah nikmat yang sangat aku syukuri, sesuatu yang mungkin terasa biasa2 saja jika hanya dalam kondisi yang biasa. Tak mengapalah menikmati sunrise tidak harus dari puncak. Toh keindahan ciptaan sang Pencipta tetap akan terlihat indah bagi orang2 yang bisa mensyukurinya dimanapun ia berada. 

Sindoro masih saja terlihat gagah, dan akan semakin gagah tatkala kita lihat dari puncak nanti. “Yuk rul buat sarapan.” “Ok.” Dengan sigap aku mulai memasak mie rebus 2 biji. “Tadz minta telornya,” pintaku pada Ustadz Kholiq. “Nih,” jawabnya sembari menyodorkan 2 biji. Alhamdulillah. Setelah 10 menit berlalu, sarapan pun terhidang. “Ayo par, ikut sarapan sini,” kami pun akhirnya bancakan bertiga (plus Parwoko). Berkahnya makanan memang akan terasa ketika makan bersama. Mungkin terlihat sedikit, namun mengenyangkan. 

Summit Attack

“Ayo2, naik!!” seru Ustadz kholiq selaku amir safar. Yahya, Purwoko, Ibrohim, dan Khoirul yang memenuhi panggilan paling awal, merangsek naik menuju puncak. Sedangkan aku dan Ustadz Kholiq menyusul di belakang. Dalam pendakian kali ini, lagi2 mas Ari Tiwul lebih berminat jaga tenda, sama ketika di Merbabu bulan lalu.
Pos IV Watu Kotak

Merangkak menuju Watu Kotak
15 menit berjalan, berdiri megah di hadapanku sebuah bukit dari bebatuan. Cukup banyak tenda2 yang didirikan dibawah naungannya. Dan yang paling mencolok, bentuk bukit itu adalah Bujur Sangkar. Yups, inilah tempat yang di dalam peta bertuliskan “Watu Kotak”. Alhamdulillah, ternyata semalam tidak sepenuhnya kami kalah, bahkan itulah keputusan terbaik yang telah ditentukan oleh Allah bagi kami. Karena seandainya tetap pada rencana untuk buka tenda di pos ini, maka sudah dapat dipastikan kami tidak kebagian tempat karena lahan sudah dipenuhi oleh pendaki dari Jogja sejak dua hari lalu.

Edelweis mulai bermekaran.
Perjalanan masih terus berlanjut. Setelah bertegur sapa dengan para pendaki dari Jogja, kami diberi arahan jalur yang paling nyaman. Memang cukup banyak percabangan, tapi tenang saja semuanya menuju ke arah puncak. Ada jalur yang dari tanah beralaskan rumput, ada juga yang bebatuan diselingi pasir. Secara pribadi aku lebih suka jalur tanah berumput, karena lebih lembut untuk pijakan. Tapi sayangnya semakin ke atas, maka akhirnya ketemu batu2an juga.
Di sini kita akan menemui bunga edelweiss, kumpulan bunga yang akan selalu terlihat indah jika masih tetap pada tempatnya. Dan juga Cantigi, dengan buahnya yang sepat seperti apel muda, terasa menyegarkan, tentunya bagi orang yang doyan. He2.

Tanah Putih. Dari sini bau belerang sudah mulai tercium.
Tanah Putih adalah papan nama yang kita temui berikutnya. Sebuah jalan dengan tanah berwarna kekuning-kuningan, atau seperti gamping, dan bebatuan yang juga berwarna kuning.Harap hati2, karena cukup licin. 100 meter sebelum puncak, kita disuguhi sebuah percabangan, lurus ke arah Puncak Buntu, atau belok kanan ke arah puncak Kawah. Aku, Ustadz Kholiq dan Khoirul, lebih memilih ke kanan, adapun teman2 yang lain sudah tiba di puncak Buntu. 


Wajah sumringah, menghapus rasa lelah, itulah sebuah ekspresi alamiah ketika tiba di puncak. Seolah2 segala letih telah sirna diganti dengan sebuah landscape yang luar biasa indah. Subhanallah. Kami telah tiba di puncak Kawah. Dari sini kami dengan bebas teriak2 memanggil teman2 yang ada di puncak Buntu.


Kawah Gak Hidup

Kami mulai menuruni kawah. Apes. Mencari-cari tapi tidak ketemu juga jalurnya, alhasil harus pake jalur sendiri. Bismillah… Kami bertiga perlahan tapi pasti, menyibak semak belukar dan menuruni bebatuan besar. Banyak sekali ranting2 berduri. Tanpa kaus tangan, kaus kaki, dan hanya dengan celana pendek, kulitku tersayat2 oleh duri. Dan terkadang kami harus melompat dari batu yang lumayan tinggi. Awalnya Ustadz kholiq ingin menuju ke kawah hidup, tapi ternyata khoirul lebih memilih kawah mati. Kalo aku mah ngikut aja, he2. Akhirnya setelah setengah jam, kami tiba di kawah mati dan beristirahat cukup lama disini. Mentadabburi ciptaan Allah yang Maha Agung.

Istirahat di dalam Kawah Sumbing
Siap-siap turun ke Kawah

Perjalanan pulang dari kawah mati.
“Ayo Him turun ke sini!” teriak ustadz kholiq kepada adiknya, Ibrohim yang masih berdiri di Puncak Buntu. Gayungpun bersambut. Ibrohim dan Yahya berhasil menyusul kami. Walaupun terjadi sedikit insiden, Yahya terperosok dari batu yang cukup tinggi, sehingga tangannya langsung berdarah dan memar.

Setelah berfoto2 ria, kami bergegas pulang. Ustadz Kholiq mengumpulkan sisa memori pendakiannya bertahun2 yang lalu. Alhamdulillah membuahkan hasil. Kali ini kami menemukan jalur pendakian yang resmi. Tinggal menelusuri saja, mengikuti bekas2 rumput kering yang terinjak2, tibalah kami di…. Lho, ternyata Puncak Buntu. Waah, ternyata ada jalur juga dari Puncak Buntu menuju kawah mati. Ha2, tidak perlu memutar. Akhirnya kami sekalian ambil pose di puncak Buntu, walaupun hanya sebentar.


Sindoro dari Puncak Buntu
Istirahat di Puncak Buntu













Di perjalanan turun, kami berpas2an dengan rombongan Bandung. 4 pria dan 4 wanita. Pendakian marathon 3 puncak 3 hari. Slamet, Sumbing, dan Sindoro. Dari percakapan singkat tadi, kami memperoleh info bahwa jalur lama lebih landai dibanding jalur baru. Berdasarkan inilah kami memutuskan untuk mencoba turun melalui jalur lama.


Perjalanan Turun

Menuruni Pasar Watu menuju Pestan.

Packing telah usai, tenda sudah dikemasi. Saatnya pulaaang…. Pukul 12 tepat kami memutuskan berpisah dengan puncak sumbing. Perjalanan pulang memang bumi serasa dilipat. Hanya factor fisik/stamina saja yang membuat jalan sedikit menjadi lambat. Logistik air juga telah menipis, tiap orang dapat jatah setengah botol aqua tanggung (600 ml). Mengingat jalur lama tidak ada sumber air, kami harus pandai2 memanajemen air.


Ambil nafas di Pestan.
Khoirul, kembali mendapatkan masalah. Karena kebanyakan makan ikan teri, akhirnya muntah-muntah dan tersedak. He2. Rul2.. mimpi apa semalem. Kali ini yang jadi pahlawannya Parwoko, menuruni gunung dengan membawa 2 tas. Luar biasa. Thanks Par, disini kau mengajariku arti sebuah pengorbanan. Mengalahkan ego demi menolong orang lain.
  
Rumus dari Khoirul (ntah bener apa gak..):
Naik >> beban = 3x lipat
Turun >> beban = 5x lipat

Seduplak Roto. Itulah jalur yang menguras stamina. Jalur tanah dengan kanan kiri rerumputan dan   berpasir, plus kemiringan yang cukup tajam, menjadikan kami berkali-kali terpeleset di jalur ini. Setelah melewati Engkol2an, ada sedikit insiden. Lagi2 Yahya, karena berjalan di sisi kanan jalur dengan kurang cermat, menyangka yang akan dipijak adalah rerumputan, padahal itu jurang yang tertutup semak belukar. “Grsaaaaakkkk….” “Tooloooong….” Kaki di kepala kepala di kaki. Kami pun segera berhamburan menolong, dengan sedikit terpingkal2…. Alhamdulillah, hanya 1,5 meteran saja. Itupun beralaskan rumput dan ilalang. Selamat tanpa cedera yang berarti. Memang jika kembali mengingat cara jatuhnya yang kepala duluan, membuat kami sakit perut karena tertawa, tapi jika membayangkan kalau seumpama jurang tadi itu dalam atau tepian tebing, ngeri juga ternyata, membuat bulu roman bergidik.
Pasca insiden, Pos 2 Genus kami singgahi. Cukup luas untuk mendirikan Camp. DIsini kami menjamak sholat dzuhur dan ashar, beralaskan tanah. 

Perjalanan meuju Pos 1 Malim  cukup landai. Hanya saja karena jenisnya tanah liat menjadikannya sangat licin. Aku tertinggal jauh dari rombongan, karena kaki sedikit bermasalah. Tapi sang ketua masih tetap setia menemani. Special thanks to Ustadz Kholiq, kau telah mengajariku bahwa tak selamanya ketua atau pemimpin itu harus selalu ada di barisan terdepan.

Horee!!! Keluar dari hutan...
Akhirnya… Makadam kembali kupijak. Itu tandanya perbatasan antara ladang dan hutan telah kami lalui. Kali ini sang ketua duluan, aku sekarang didampingi oleh penyapu, Mas Ari Tiwul. Berjalan bagai kura2. Sangaat lamban dan santai plus curhat2an, ha2. Lagian kami mengira bahwa basecamp sudah dekat. Tapi setiap kali ujung jalan terlalui, muncul lagi jalan yang lain. Kapan nih habisnya?! Kok muncul lagi, muncul lagi. 

Setelah penantian panjang, dan hari sudah petang, pemandangan rumah desa mulai terpajang, dan adzanpun sudah berkumandang. Alhamdulillah, hatiku amat senang… Selidik punya selidik, setelah aku buka peta, ternyat jalur makadam tadi sepanjang 3 Km. Wuih, pantes aja serasa gak abis2. Hampir separo dari total jarak pendakian (7 Km). 

Go to Home

Saatnya pulang… Berkendara melewati Temanggung – Magelang – Jogja – Klaten… Tapi hatiku tetap senang (karena cuma bonceng, yang di depan si Khoirul… ha2 derita lo Rul..). Dan lagi2 Khoirul jadi lakon perjalanan kali ini, di perjalanan antara Magelang – Jogja, ban bocor… wkwkwk… emang gak ada lo gak rame Rul… Tapi ‘ala kulli hal, apapun yang terjadi, semua selamat sampai tujuan. Semoga perjalanan kali ini banyak faidah yang bisa kita ambil. Selamat berjuang dan bertualang kawan! :)

Estimasi Waktu:
Solo – Garung (Basecamp) = 4 jam (motor)

Pendakian (jalur Baru)
Basecamp – Pos 1 Bosweisen = 1  jam 30 menit
Pos1 – Pos2 Gatakan = 2 jam
Pos 2 – Pestan = 2 jam 15 menit
Pestan – camp (pasar watu) = 1 jam
Camp – Watu Kotak = 30 menit
Watu Kotak – Tanah Putih = 45 menit
Tanah Putih – Puncak Kawah = 30 menit
Puncak Kawah – Kawah Mati = 30 menit
Total perjalanan = 10 jam
*Kami masih jauh dibawah standart (8 – 9 jam) karena berjalan dengan sangat santai dan dalam grup yang cukup besar.

Turun Gunung (Jalur Lama)
Kawah Mati – camp = 1 jam
Camp – basecamp Stickpala = 6 jam
*Standartnya bisa ditempuh dengan waktu 4 jam. Aku dan mas Ari menjadi yang terakhir, karena memang kakiku sedang bermasalah. Sedangkan kawan2 banyak yang jauh di depan, bahkan Khoirul yang berlaripun bisa mencapai standart waktu. 

Catatan:
  • Jalur lama cukup landai, tapi tidak terdapat sumber air. Adapun jalur baru, hampir tidak ada bonus, tetapi terdapat sumber air (Pos 2). Lahan untuk camp lebih banyak di jalur lama.
  • Biaya administrasi: Rp 3000,-, retribusi air: Rp 1000,-, titip motor: Rp 5000,-, cas hp: Rp 1000,-, peta: Rp 3000,- Stiker Rp 3000,-, Gantungan Kunci: Rp 7000,-
  •  Watu Kotak adalah lahan yang lebih aman untuk buka tenda daripada di Pestan. Lebih banyak pelindung dan lebih dekat dari puncak.

Thanks to:

1.                   Allah ta’ala dengan segala limpahan nikmatnya.
2.                   Maba Graduate: Ustadz Kholiq (porter), Mas Ari Tiwul, Khoirul, Yahya, Parwoko.
3.                   Temen2 pendakian yang lain: Ibrohim (adik Ustadz Kholiq) dan 6 teman Khoirul.
4.                   Mas Mahfudz atas pinjeman tendanya.
5.                   Rahmat Tri yang mengantar survey dahulu sebelum ekspedisi.
6.                   Umar yang telah mendesain Stiker Sumbing plus cetak sekalian.

11 komentar:

  1. Keren blognya akhy... wah saya tertarik nih ke gunung sumbing...

    BalasHapus
    Balasan
    1. maen aja mas ke jawa..... Insya Allah banyak gunung yang siap menanti... :)

      Hapus
  2. Mantaf...Ustad Pengelana.. nature.nya gak terlalu beda sama gunung lawu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi lebih capek Sumbing mas daripada Lawu... Kl dinginnya sih tetep dingin Lawu.... :)

      Hapus
  3. masyaalloh.... masyaalloh....... mantap

    BalasHapus
  4. Subhanallah. . . perjalanan yg bkin ngiri ustadxz. . . .ana jadi pengen

    BalasHapus
  5. sip sip, nyampe puncak masih cerah ceria belum berkabut....

    keren juga ya di kawah matinya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, tapi lebih keren lagi kawah hidupnya.... :)

      Hapus
  6. Subhaanallah.. jadi teringat lagi pendakian saya dengan beliau Ustadz Abdul Choliq dan salah satu teman tionghoa muslim dari xinjiang. Baarakallahu fiik Ustadz.

    BalasHapus

 

Perhatian!!!

Boleh Co-Pas asal jangan sampai merubah makna dari isi artikel. Dan juga tolong dicantumkan sumbernya ya... Syukron, baarokallahu fiekum...

Blogroll