Rabu, 26 Juni 2013

Ummu Zar'i



Di antara interaksi Rasulullah SAW yang baik dengan istri-istrinya adalah ia berbincang-bincang dengan mereka, bercengkerama, bercanda, dan mendengarkan pembicaraan mereka. Petunjuk Rasulullah SAW dalam hal ini adalah petunjuk yang paling sempurna. Di antaranya, saat ia mendengar Aisyah RA mengungkapkan kepadanya perbincangan tentang Ummu Zar’i.

Sudah lazim diketahui, kebanyakan wanita mengeluhkan sikap diam suami mereka dan sikap tak suka mendengar pembicaraan mereka. Sementara di antara tabiat kaum wanita, mereka banyak berbicara dan merasa senang bila laki-laki mendengarkan mereka, apalagi bila mendengarkan dengan baik serta merespon perhatian kaum wanita. Dengan amat menarik, ia mencontohkan bagi kita, bagaimana ia mendengarkan penuturan seorang wanita dengan baik.

Al-Bukhari meriwayatkan, dalam Shahiihnya pada bab “Ber­gaul dengan Baik terhadap Keluarga,” sebuah hadits marfu’ dari ‘Aisyah . Ia menuturkan:
“Sebelas wanita duduk lalu mereka berjanji untuk tidak menyembunyikan tentang kabar-kabar yang bertalian dengan suami mereka sedikit pun.

Wanita yang pertama berkata: ‘Suamiku adalah daging unta jantan kurus di atas puncak gunung yang tidak mudah didaki, dan tidak pula berdaging sehingga mudah berpindah.’
Pembahasan: Wanita pertama ini bermaksud mencela suaminya. Ia mengistilahkan bahwa daging suaminya seper­ti daging unta yang kurus, selain itu juga terletak di puncak gunung yang sulit didaki. Kemudian ditambahkan lagi bahwa suaminya tidak pula gemuk untuk mampu memikul beban.
Wanita ini tidak menikmati suaminya. Sebab, ia adalah seorang pria yang lemah dan dagingnya tidak bagus. Sepertinya ia menyifati aktifitas seksualnya bersamanya. Sekalipun ia menikmati aktifitas seksual bersama suaminya, namun ia melihatnya seperti daging unta yang kurus. Disamping kurus, ternyata dia sangat buruk akhlaknya. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana seharusnya berbicara dengannya. Bahkan ketika dia sampai kepada suaminya setelah bersusah payah, dia tidak mendapat­kan sesuatu pun yang layak diambil dan dinikmati darinya. Wallaahu a’lam.

Yang kedua berkata: ‘Tentang suamiku, aku tidak ingin menyebarkan beritanya. Sesungguhnya aku khawatir mengatakannya. Jika aku mengingatnya, maka aku akan mengingat urat di wajah dan di perutnya.’
Pembahasan: Wanita yang kedua ini tidak mau membicarakan aib-aib suami­nya baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Hal ini dikarenakan suaminya ini memiliki banyak aib. Ia khawatir bila mengingatnya akan menyebutkan semua aibnya. Seakan-akan ia khawatir tidak dapat membiarkan beritanya sedikit pun karena sedemikian banyaknya. Tetapi ia merasa cukup mengisyaratkan aib-aibnya. Wallaahu a ‘lam.

Yang ketiga berkata: ‘Suamiku orang yang berakhlak buruk; jika aku berbicara, maka aku akan ditalak dan jika aku diam, maka aku akan terkatung-katung.’
Pembahasan: wanita yang ketiga ini menyebutkan bahwa suaminya memiliki akhlak yang buruk. Jika wanita ini berbicara disisinya dan mengoreksinya tentang suatu perkara, maka dia akan dicerai oleh suaminya. Namun jika dia diam, maka suaminya tidak menghiraukannya dan meninggalkannya seperti wanita terkatung-katung yang tidak mempunyai suami dan tidak pula janda. Dia memiliki suami, namun suaminya ini tidak bisa diambil manfaat bila disisinya. Wallaahu a’lam.

Yang keempat berkata: ‘Suamiku seperti malam yang tenang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak membosan­kan.’
Pembahasan: Wanita keempat menyifati suaminya, bahwa dia hidup bersamanya dengan rasa aman dan keadaannya menyenangkan. Ia tidak takut dan tidak bosan dengan kehidupan­nya. Ia seperti penduduk Tuhamah dalam menikmati malam mereka yang tenang dan cuaca yang lembut. Ia menikmati suaminya karena pergaulannya yang bagus dan keadaannya sederhana. Wallaahu a ‘lam.

Yang kelima berkata: ‘Suamiku, apabila ia masuk, ia seperti macan kumbang dan apabila keluar, ia seperti singa, dan tidak ber­tanya tentang apa yang terlihat (di dalam rumah).’
Pembahasan: Pensifatan wanita kelima ini pada suaminya mengandung dua kemungkinan:
Kemungkinan pertama, ia menyifati suaminya bahwa ia seperti macan, karena terlalu sering menyetubuhinya. Wanita ini dicintainya sehingga ia tidak tahan ketika meli­hatnya. Sementara ketika ia di tengah-tengah manusia (ketika keluar) ia adalah pemberani seperti singa. Selain itu suaminya ini (tidak bertanya tentang apa yang bisa dilihat) memberikan kepadanya makanan, minuman dan pakaian, dan ia tidak menanyakan dikemanakan semua itu habis.
Kemungkinan kedua, ia mencela suaminya dan menyifatinya bahwa ketika masuk, ia seperti macan. Ia tidak mencumbuinya sebelum menyenggamainya. Ia juga berakhlak buruk, meninju, memukul dan ia tidak bertanya tentang isterinya. Ketika ia keluar, sedangkan isterinya sakit, maka ketika kembali, ia tidak bertanya ten­tang keadaannya. Wallaahu a’lam.

Yang keenam berkata: ‘Suamiku, jika ia makan sangat rakus. Jika minum, ia meminumnya sekali tenggak. Jika tidur, ia tidur pulas sendirian Gauh dari isteri). Ia tidak memasukkan telapak tangannya (ke dalam tubuh isterinya) untuk mengetahui berita (tentang kesedihan isterinya).’
Pembahasan: Wanita keenam ini menyifati suaminya sebagai orang yang rakus dalam makan dan minum sehingga tidak menyisakan sedikit pun. Jika ia tidur, maka ia tidur di pojok dan berselimutkan dengan pakaiannya sendirian dalam keadaan berpaling dari isterinya, dan dia (si isteri) bersedih karenanya. Ia tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kesedihannya terhadapnya, dan ia (si isteri) sakit tapi ia tidak bertanya tentang penyakitnya. Wallaahu a’lam.

Yang ketujuh berkata: ‘Suamiku dungu -atau tidak mampu bersenggama dengan isterinya bahkan sangat dungu. Setiap penyakit ada padanya. Ia melukai kepalamu, melukai tubuhmu atau melaku­kan kedua-duanya kepadamu.’
Pembahasan: Wanita ketujuh ini menyifati suaminya sebagai orang yang dungu, sebab ia tidak mampu me­menuhi hajatnya. Meskipun demikian, ia selalu menyakitinya jika ia berkata kepadanya. Suaminya ini kemudian menahannya, memukulnya dan melukai kepala serta badannya. Ia tidak menyisakan satu anggota badan pun bisa terbebas. Kadang­kala ia melakukan segalanya. Wallaahu a’lam.

Yang kedelapan berkata: ‘Suamiku sentuhannya selembut sentuhan kelinci dan aromanya seharum aroma Zarnab (pohon berbau harum).’
Pembahasan: Wanita kedelapan ini menyifati suaminya sebagai orang yang suka berdandan dan memakai par­fum untuk dirinya. Wallaahu a’lam.

Yang kesembilan berkata: ‘Suamiku tinggi pilarnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya dan rumahnya dekat dengan kebaikan.’
Pembahasan: Wanita kesembilan ini menyifati suaminya, bahwa rumahnya tinggi dan panjang, dan demikianlah rumah para bangsawan. Ia berperawakan tinggi, yang membutuhkan sarung pedang yang panjang, dan itu karena keberaniannya. Apinya tidak padam karena kedermawanannya. Rumahnya dekat dengan tempat pertemuan, sehingga ia tidak tertutup dari para peserta pertemuan dan ia tidak jauh dari mereka serta selamanya berada di tengah-tengah khalayak agar mudah bertemu dengan­nya.

Yang kesepuluh berkata: ‘Suamiku adalah raja, raja yang seperti apa? Seorang raja yang lebih baik dari semua raja. Ia memiliki unta-unta yang banyak, menderum dan sedikit digembalakan. Jika hewan-hewan tersebut mendengar suara pisau, maka hewan-hewan tersebut merasa yakin, bahwa mereka akan binasa.’
Pembahasan: Wanita kesepuluh ini mengatakan, bahwa suaminya adalah raja yang lebih baik dibandingkan raja-raja yang disebutkan dalam hal kedemawanannya. Ia memiliki banyak hewan peliharaan yang sedikit digembalakan (kebanyakan dikandang). Jika hewan peliharaannya ini mendengar suara pisau, maka ia tahu bahwa ada tamu yang datang. Jika tamu telah datang, maka ia yakin bahwa ia akan disembelih. Hal ini dikarenakan kedermawanannya sang suami.

Yang kesebelas berkata: ‘Suamiku Abu Zar’, dan siapakah Abu Zar’? Yaitu, orang yang memakaikan perhiasan di kedua telingaku. Ia memenuhi tubuhku dengan lemak (sehingga aku menjadi gemuk). Ia membahagiakanku, sehingga aku menjadi bahagia dan bangga. Ia mendapatiku (ketika menikahiku) dalam keluarga penggembala kambing yang sengsara, lalu menempatkanku dalam keluarga penggembala kuda dan unta serta memiliki banyak tanaman dan hewan ternak. Di sisinya aku berbicara, dan aku tidak dicela. Aku tidur di awal siang hari dan aku minum hingga puas.’
Ibu Abu Zar’, dan siapakah ibu Abu Zar’ itu? Hartanya banyak dan rumahnya luas.
Putera Abu Zar’, dan siapakah putera Abu Zar’ itu? Tempat tidurnya seperti selembar serat tikar (karena sempitnya) dan sudah merasa kenyang dengan makan kaki kambing.
Putri Abu Zar’ dan tahukah kamu siapakah putri Abu Zar’ itu? Ia mentaati ayahnya dan mentaati ibunya, pakaiannya ter­penuhi dan tetangganya iri kepadanya.
Sahaya wanita Abu Zar’, dan tahukah kamu siapa sahaya wanita Abu Zar’ itu? Ia tidak menyebarkan pembicaraan kami. Tidak berkhianat maupun mencuri makanan kami, dan tidak me­menuhi rumah kami dengan sampah.
Pembahasan: Wanita kesebelas ini (Ummu Zar’) menyifati Abu Zar’ banyak memberinya perhiasan dan makanan yang enak. Dan dia berbahagia atas perlakuan Abu Zar’. Ia menceritakan bahwa Abu Zar’ ini dahulu menikahinya padahal dia berada pada keluarga yang miskin. Yang kemudian Abu Zar’ menempatkannya dikeluarga yang kaya. Meskipun begitu, ketika berbicara (berpendapat) disisi Abu Zar’ pendapatnya diterima (meskipun dulu keluarganya merupakan keluarga yang miskin). Selain itu dia sangat menikmati hidup bersama Abu Zar’ yang dia bisa tidur dan minum sepuas-puasnya karena dia tidak perlu melakukan pekerjaan rumah (karena memiliki banyak pembantu)
Selanjutnya karena senangnya hidup bersama Abu Zar’ maka dia kemudian menyebutkan, bagaimana ibu, putera, puterinya dan hamba sahayanya.
Ia menggambarkan Ibu Abu Zar’ mempunyai banyak perabotan, harta, pakaian, dan rumah yang luas.
Ia menggambarkan putera Abu Zar’ bahwa pembaringannya hanya selebar selembar serat tikar, maksudnya ia tidak banyak memanfaatkan atau mengambil tempat di rumah, dan sedikit makannya, sehingga sudah merasa kenyang dengan makan sebelah kaki depan kambing kecil, dan ini gambaran bahwa anak tirinya tersebut tidak banyak membebaninya seakan-akan tidak hidup bersamanya.
Ia menggambarkan puteri Abu Zar’ yang taat kepada orangtuanya, mempunyai pakaian yang banyak dan membuat iri tetangganya.
Ia menyifati sahaya itu bahwa ia tidak menyebarkan rahasia dan tidak meng­khianati mereka dalam hal makanan dan perbekalan serta membawanya kabur. Ia pandai mengatur rumah dan peka dengan kebersihan.
Ia (Ummu Zar’) mengatakan: ‘Abu Zar’ keluar mem­bawa wadah-wadah untuk memerah susu, lalu dia bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan kumbang. Keduanya memainkan dua payudaranya di pangkuannya. Kemudian dia menceraikanku dan menikahinya. Kemudian sesudah itu aku menikah dengan seorang laki-laki bangsawan, me­naiki kuda dan memegang tombak. Ia menghiburku dengan berbagai nikmat yang banyak dan memberikan kepadaku dari segala hal yang menyenangkan,· serta mengatakan kepadaku: ‘Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berikan kepada keluargamu.’ Ia (Ummu Zar’) mengatakan: ‘Sekiranya aku kumpulkan segala sesuatu yang dia berikan kepada­ku, maka itu tidak mencapai sebejana terkecil Abu Zar’.”

Abu Zar’ keluar pagi-pagi sekali dari rumahnya ketika akan bekerja. Dia keluar ketika musim kurma dan musim semi yang indah, Kemudian Abu Zar’ melihat seorang wanita. Wanita itu sedang dalam keadaan yang lelah, ia berbaring sambil beristirahat. Abu Zar’ melihatnya demikian bersama dua orang anak, seperti dua ekor macan kumbang yang bagus. Kebanyakan orang-orang Arab menginginkan wanita-wanita yang dapat melahirkan. Dikarenakan wanita yang ditemuinya ini adalah wanita yang subur (punya 2 anak), sedangkan Ummu Zar’ tidak memiliki anak (dari pernikahannya), maka Abu Zar’ kemudian menikahi wanita tadi dan mencerai Ummu Zar’.
Selanjutnya Ummu Zar’ menikah dengan seorang laki-laki bangsawan, dan ia mendapatkan banyak kenikmatan darinya. Meskipun demikian kecintaannya kepada Abu Zar’ tidak dapat digantikan oleh laki-laki ini.

‘Aisyah melanjutkan: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Aku bagimu adalah seperti Abu Zar’ terhadap Ummu Zar’.”

Point-Point Penting Berkaitan dengan Hadits Ini : (berdasarkan komentar al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (IX/277), dengan diringkas)

Pertama, suami itu keadaannya sangat bermacam-macam. Barangsiapa yang mendapati sifat yang tercela padanya, maka hendak­lah dia berusaha melepaskan sifat tersebut semaksimal mungkin. Dan barangsiapa yang merasa memiliki sifat terpuji, maka hendak­lah dia memohon kepada Allah tambahan karunia-Nya.

Kedua, berlemah lembut dan berbicara dalam perkara yang mubah, selagi hal itu tidak membawa kepada hal yang dilarang.

Ketiga, penjelasan tentang bolehnya menyebut kelebihan dalam perkara-perkara agama, dan seorang suami memberitahukan kepada keluarganya mengenai gambaran keadaannya bersama me­reka, terutama karena kaum wanita mempunyai tabi’at mengingkari kebaikan. Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Aku bagimu adalah seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.”

Keempat, hadits ini berisi pembicaraan tentang umat-umat terdahulu dan membuat permisalan dari mereka untuk diambil sebagai pelajaran. Tidak mengapa menyebut sekelumit kisah dan kisah-kisah unik yang dinilai baik untuk memotifasi jiwa.

Kelima, boleh memuji seseorang di hadapannya jika pujian tersebut tidak merusaknya; karena ‘Aisyah Rodhiallahu ‘anha mengatakan: “Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik daripada Abu Zar’. Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, sungguh engkau lebih baik bagiku.”

Keenam, menyebut aib yang ada pada diri seseorang dibolehkan, jika diniatkan agar perbuatan tersebut dijauhi, dan hal tersebut tidaklah termasuk dari ghibah. Hal ini disinggung oleh al-Khaththabi, kemudian oleh Abu ‘Abdillah at-Tamimi, guru dari al-Qadhi ‘Iyadh, bahwa argumen dengan hal ini adalah akan sempurna seandainya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar wanita menggunjing suaminya lalu menyetujui­nya. Adapun hikayat tentang orang yang tidak hadir, maka tidaklah demikian. Ini adalah sebagaimana orang yang mengatakan: “Di antara manusia ada seseorang yang berbuat buruk.” Mungkin inilah yang dimaksud oleh al-Khaththabi.

Ketujuh, hadits ini membolehkan menyifati wanita dan kebaikannya kepada seorang pria. Ini dibolehkan jika kaum wanita tersebut tidak ada (tidak diketahui).
Sumber: "Isratun nisaa' minal alif ilal yaa'"

0 komentar:

Posting Komentar

 

Perhatian!!!

Boleh Co-Pas asal jangan sampai merubah makna dari isi artikel. Dan juga tolong dicantumkan sumbernya ya... Syukron, baarokallahu fiekum...

Blogroll