Jumat, 25 Desember 2015

Curug Muara, Pesonamu takkan Terlupa



“Ayo prik maen ke curug!” ajak Abdul, orang yang paling bersemangat dalam trip kali ini. Yah, memang bisa dimaklumi, kita semua memang sudah lelah dan jengah, karena tiap hari dihadapkan dengan hiruk pikuk kehidupan ibukota. Macet adalah santapan setiap pagi dan sore, suara klakson adalah alunan musik yang wajib didengar di setiap perjalanan, dan racun polusi seakan-akan sudah mencampuri setiap oksigen yang kita hirup. Ditambah lagi, hari ini adalah malam terakhir kami begadang untuk ujian. Lengkap banget dah pokoknya alasan buat mencari kesegaran dan memanjakan mata dengan hijaunya alam. “Selasa pagi gimana Dul?” aku memberikan option selasa, agar lebih leluasa karena ujian berakhir pada hari Senin.  “Jangan! Selasa aku dah pulang Pri... Abis ujian kita langsung berangkat aja!” tukas Kholid menimpali. “Hmmm... Ok deh aku ngikut aja, tapi konsekuensinya kita pulang agak malaman ya...”

Setelah woro-woro di grup kampus, maka terbentuklah tim kita kali ini, terdiri dari 5 anak muda dan seorang bapak muda. He2... Zulpan, dia yang jadi pasangannya Abdul, yang paling ngebet pengen maen aer dan mampir ke pemandian aer panas. Ada sih, tapi dari awal aku dah prediksi gak akan nyukup waktunya, tapi aku diem aja biar tetep semangat mengarungi perjalanan... he2, sori ya pan...
Hafidz, dari awal memang sudah minat kalo diajak jalan-jalan, denger-denger sih pengin belajar biar bisa fotogenik, bagus dan natural saat difoto, terutama pas selfi kaya si Abdul. Tapi orang Sunda yang satu ini pengennya nebeng aja, katanya sih motornya ga kuat buat nanjak. Ok deh fidz, santai aja, selalu ada tumpangan buat kamu.
Restu, orang yang ga terprediksi bakal ngikut ini ternyata tiba-tiba nyamperin dan pengen ikut. Selidik punya selidik, ternyata ada udang di balik rempeyek... Dia pengen sekalian mudik ke kampung kelahirannya, Sukabumi, jadi nantinya turun di Baranangsiang Bogor. Ha2, tapi tak mengapalah, asik ko jalan ma kamu Res, karena nanti kamu dengan jaket merahmu yang membara dan helm ijaumu yang menyala, jadi patokan mudah buat temen-temen yang jalan di belakang. Yups, Restu nantinya memang bonceng aku.
Sisanya 2 orang, si Abdul, ma Kholid yang jadi pembuka di cerita ini. 2 anak ini kayanya yang paling seneng di foto. Tau dah kenapa, efek dari jomblo kali ya... he2....

Perjalanan 3 jam yang Melelahkan

Alhamdulillah, ujian terakhir udah kelar, pukul 09.30, kami sudah keluar dari kelas. Lantas kumpul sebentar di depan kantin, dan disepakati kumpul di masjid Ruhama, tempat tinggalnya si Abdul. Sempet tertunda karena miss komuikasi antara aku dan abdul, katanya suruh jemput si hafidz, ternyata hafidznya udah di tempat kumpul, lagian aku juga belum tau di mana mesjid ruhama itu. Buat pelajaran ajalah, lain kali kalau pilih tempat kumpul harus yang diketahui semua anggota. Akhirnya pukul 11.00 kami berangkat.
Sesuai kesepakatan final, kita akan bareng-bareng jalan ke kawasan wisata GSE. Gunung Salak Endah di Bogor. Kami menggeber motor, membelah kemacetan, menelusuri jalan raya Bogor, jalan legendaris dan jalan utama yang menghubungkan antara Jakarta-Bogor. Tanpa diduga, ada razia polisi. Restu sempat panik dan meminta untuk menyelinap diantara mobil, tapi aku tenang aja karena dokumen lengkap. Sedangkan Kholid dan Hafidz terlihat mencoba minggir-minggir agar tak terlihat ma pak polisi, tapi akhirnya malah kejaring juga. Ha2, mana pajeknya mati 4 tahun lagi. Tapi alhamdulillah ga kena tilang, karena memang pajak pada dasarnya urusannya bukan dengan polisi, Cuma kadang memang ada oknum yang mempermasalahkannya, mencari-cari kesalahan pengendara. Pokoknya sebagai tips aja, kalau jalan jangan sampai lupa sama SIM ma STNK, biar ga merusak suasana traveling.
Perjalanan berlanjut. Sebelum masuk ke wilayah Cibinong, kami terjebak macet, karena ada penyempitan jalur. Kendaraan yang menuju Bogor dioper ke jalur yang menuju ke Jakarta, sehingga, jalur yang tadinya searah menjadi dua arah. Usut punya usut, ternyata sedang ada penertiban dan penggusuran. Banyak sekali satpol PP berseliweran, sampai-sampai beberapa traktorpun dikerahkan. Ternyata yang digusur para penjual bunga yang berjejer banyak di pinggir jalan. Yah, yang sabar ya pak-bu, semoga ja ini demi kebaikan bersama.
Kami terus melanjutkan perjalanan, Zulfan yang semalam begadang akhirnya menyerah dan gak kuat jadi sopir. Pergantian posisi pun terjadi, Zulpan dibonceng Hafidz, dan Abdul dibonceng Kholid. Adapun aku masih tetap setia dengan Restu. Lalu lintas kali ini memang cukup padat karena memang sedang musim liburan panjang. Pegawai-pegawai pada libur tahun baru dan Natal, sedangkan para mahasiswa dan anak sekolah juga sedang libur pergantian semester.
“Masih jauh ga pri?” tanya kholid yang sepertinya sudah mulai kelelahan. “Deket ko,” jawabku coba menghibur. Menurut prediksiku perjalanan masih satu jam lagi, mengingat kami saat itu baru sampai di IPB Bogor.
Tak berselang lama, jalanan mulai sepi, hijaunya pepohonan mjulai menghiasi kanan kiri jalan. Udara dinginpun mulai menusuk, dan jalanan mulai menanjak. Yups, akhirnya kami sudah meniti jalur menuju kawasan wisata. Toko-toko mulai jarang terlihat, dan rumah-rumah pun mulai berjarak. Jalanan yang tadinya mulus, mulai banyak lubangnya. Dan yang menjadi ciri khas adalah banyaknya polisi tidur yang tingginya cukup menyakitkan. Sampai terlompat-lompat mio putihku waktu menerjangnya. Jadi kasihan ma Restu, karena shock-nya memang sudah mati. Ha2... ga bisa ngebayangin dah pokoknya yang penting nikmatin aja Res...
Sebelum  sampai ke pintu masuk, kami menyempatkan diri mampir di alfamart, sekedar untuk meluruskan pinggang dan juga belanja aer, camilan dan popmie. Sekedar tips saja, usahakan jangan jajan di tempat wisata, dijamin menguras kocek.
“Pri sepertinya Kholid ma Abdul ga kuat nanjak motornya,” teriak Zulpan ngasih info ke aku. Alhamdulillah, kami akhirnya sampai di gerbang GSE. “Masa sih? Yawda kita tunggu aja.” Tak berselang lama, tampaklah motor mereka, dengan sedikit merontga-ronta. Sebagai tips juga, sebaiknya sebelum motor dipake buat ngetrip, gak ada salahnya diservis dulu, minimal ganti oli lah... Saat itu kutengok jam di tangan menunjukkan angka 2. Hmm, berarti perjalanan 3 jam sudah kita tempuh bersama demi  sampai ke tempoat tujuan ini. Sempet khawatir juga ma kondisi kawan-kawan, terutama yang kondisinya kurang fit karena energi sudah habis terkuras buat ujian. Yah, semoga ja apa yang didapati nanti bisa mengobati rasa lelah, dan gak kapok buat jalan bareng lagi.

Dari Curug Seribu beralih ke Curug Muara

“Berapa pak Tiket masuknya?”
“25 mas, untuk tiap motor dan 2 pengendaranya.”
“Lho, biasanya 20 aja pak?”
“Naik mas, lagian kami kan juga Cuma pelaksana,” ujar Petugas dengan seragam dinas kehutanan itu mencoba menjelaskan kepada kami mengenai harga tiket masuk.
“Ada tiketnya ga pak?” selidik Zulpan yang sepertinya kurang percaya sama si bapak.
“Abis mas... tadi tinggal dua doang.”
Yah, memang sih, biasanya 20 ribu saja untuk masuk kekawasan hutan lindung atau taman nasional Gunung Salak ini, tapi mungkin sudah naik. Semoga saja tak ada unsur penipuan di sini.

Akhirnya tiba juga di kawasan Hutan Lindung
Rimbunnya pepohonan dan tanaman paku menyambut kami. Udara yang segar dan hawa yang dingin merasuk ke tulang kami, namun kesegarannya menyejukkan jiwa. Pepohonan pinus berjajar rapi kiri dan kanan, menambah syahdu suasana. Perlahan tapi pasti,  kami terus melaju membelah hutan. Di sini kita harus hati-hati, mengingat jalanan yang licin dan berlubang-lubang. Semoga ke depannya pemerintah lebih memperhatikan infrastruktur di hutang lindung ini, mengingat kekayaannya yang luar biasa, sangat sayang jika terbengkalai.
Zulpan dan Hafidz masih saja terus menggeber motornya, sedangkan Kholid dan Abdul, memilih untuk menghentikan sejenak. Sudah dapat ditebak, mereka berdua sudah tak tahan buat selfie. Aku pun ikut memarkir sang mio.
Setelah beberapa kali cklek, kami istirahat sejenak, si Abdul penasaran melihat pohon-pohon di deres  atau disayat kulitnya untuk diambil getahnya.
“Ini pohon apa pak?” tanyanya kepada seorang petugas yang sedang ada di hutan, tak jauh dari kami.
“Pinus mas.”
“Emang getahnya buat apa?” tanyanya sambil mencolek getah dan membau-bauinya. Maklum juragan karet pasti penasaran juga kalo liat yang beginian.
“Buat sabun, lilin, dan macem-macem lainnya,” terang sang bapak.
“Ooo....” kami hanya manggut-manggut saja sok paham.
Sebenarnya aku tahu kalau itu pohon pinus, hanya saja memang getahnya baru tahu kali ini jika banyak manfaatnya. Karena diantara pengetahuan yang aku dapet dari kawan-kawan pendaki, kita harus hati-hati jika bikin api di daerah hutan pinus, mengingat batangnya yang mudah terbakar. Bahkan sekalipun dalam kondisi basah, maka dari itu juga bahan utama batang korek api terbuat dari pohon pinus.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, karena tujuan utama adalah curug  Seribu. Bress.... tiba-tiba hujan turun. Sempat galau juga, mau diterjang, atau pakai jas hujan dulu. Akhirnya kami menepi sebentar, karena seingatku terakhir ke sini, jalan menuju gerbang curug Seribu masih berupa bebatuan yang licin, jadi tak mungkin kita bisa jalan kenceng menerjang hujan, yang ada malah jatuh nantinya.
Setelah memakai jas hujan, kami kembali jalan. Tapi kok terasa ada yang aneh, seharusnya sudah tak jauh, tapi ini ko ga sampai-sampai. Malahan kita tiba di gerbang curug Cigamea. Yaahhh... berarti kebablasan nih. Akhirnya kita tanya penduduk, dan memang benar kita kebablasan. Puter deh jadinya. Usut punya usut, ternyata tadi plangnya tertutup oleh 2 buah angkot yang sedang parkir. Dan  yang membikin aku kelewatan, ternyata jalanannya sudah diaspal, ga seperti dulu yang masih bebatuan. Alhamdulillah, pertanda bahwa ada peningkatan pelayanan, dan  juga peningkatan pengunjung.
“Kanan mas,” seorang petugas mencegat kami dan memberi komando ke tempat parkir. Setelah persiapan dan packing ulang, kami pun langsung jalan menuju ke TKP, maklum hari sudah mulai sore.
“Bayar tiket masuk dulu mas...” cegat seorang ibu saat kami hendak masuk ke gerbang curug.
“Berapa bu perorang?” tanyaku
“7000”
“Lho kok naik? Perasaan dulu 5000 aja.”
“Iya mas, kalau liburan malah 7500,” jawab ibu sambil menghitung jumlah kami.
“Curug seribu atau Muara?”
“Lho ada dua ya? Kayaknya dulu cuma ada Seribu.’
“Iya baru mas”
“Bagusan mana bu emangnya?”
“Kalau yang udah-udah sih yang maen ke curug muara ngajakin temennya lagi. Kalau musim ujan gini gak bisa maen aer di curug Seribu mah.”

Pintu masuk curug Muara
Setelah diskusi sejenak kami memutuskan untuk mencoba curug Muara. Kata Zulpan ma Abdul sih, kalau misal ga sesuai harapan balik lagi aja terus putar haluan ke Seribu. Aku sih fine-fine aja, cuma ya apa cukup waktunya buat perjalanan bolak balik mengingat dah jam segini, ha2... mereka belum tau sih kalo jaraknya lumayan jauh.
Setelah membayar, kami menumpang sholat di kios si ibu dulu. Kutengok jam sudah menunjukkan pukul 15.15. Harus segera beranjak nih. Bismillah, kita lanjutkan perjalanan ke curug Muara.

Curug Muara, pesonamu takkan terlupa

“Mas tasnya nyangkut!” tiba-tiba seorang ibu teriak ke arah kami –khususnya kholid-, saat kami melintasi kiosnya. Kami hanya terbengong-bengong, bingung dengan apa maksudnya. Ooo, ternyata si ibu hanya menggoda saja, Cuma bercanda. Tapi si kholid mah lempeng-lempeng aja. Ga mudeng kayanya dia.

Menuruni tangga licin
Perjalanan menuju curug terasa sangat sepi. Teman-teman mulai merasa ragu, takut kalau sepi gara-gara kurang bagus. Tapi kalau menurutku sih ini karena masih baru aja. Karena makadam –jalan dari batu-batuan yang disusun- masih terasa baru. Dan itu terbukti ketika ditengah jalan berikutnya, kami temui bapak-bapak yang sedang memecah batu dan menyusunnya dengan rapi agar lebih mudah untuk dilewati.
Pada awalnya jalan yang kami lalui naik turun, tapi setelah melewati posko yang bertuliskan “Curug Muara” jalanan cenderung turun. Yah memang sudah sewajarnya, jalanan menuju curug selalunya turun. Kanan kiri kami melihat rindangnya pepohonan yang bervariasi. Hanya saja kami tak menemui hewan-hewanan, berbeda dengan curug yang terletak sebelum curug Muara, banyak sekali kera berkeliaran.
“Masih jauh mas... jalannya makin lama makin kecil,” keluh seorang ibu-ibu dengan rombongannya yang berpas-pasan dengan kami. Lantas kemudian bercerita kalau beliau-beliau memutuskan untuk balik sebelum tiba di curug. Dan sepertinya juga menyarankan kami untuk kembali.

Jalannya masih bagus
“O gitu ya bu, ga papa deh kita nyoba terus telusuri aja, mumpung masih tenaga muda,” balasku sembari pamit dan terus melanjutkan perjalanan. Dan tak selang lama, kami bertemu juga dengan rombongan mas-mas dan mbak-mbak yang membersamai ibu-ibu tadi.
“Masih jauh ya mas? Kalo sama curug seribu jauh mana ya?” tanyaku.
“Wah masih ngeri curug seribu mas,” jawab salah seorang dari mereka.
Hmmm... Berarti menurut kalkulasiku jarak sudah tak terlalu jauh, paling tidak kita sudah dapet setengahnya, karena dulu aku menempuh perjalanan ke curug Seribu hanya membutuhkan waktu setengah jam.
Jalan semakin curam menurun, berganti dengan tangga-tangga yang lumayan licin karena lembab dan sedikit tertutup lumpur atau tanah basah. Suara derasnya sungaipun makin terdengar, pertanda curug sudah semakin dekat.

Kaya boyband aja nih.. :D
Alhamdulillah, setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya sang curug terlihat juga. Sebelum sampai ke TKP, kami terlebih dahulu menyebrangi sungai dengan menggunakan jembatan bambu yang kondisinya masih sangat bagus. Kemudian terdapat pos pengawasan dan kedai kopi. Lantas ada jembatan bambu lagi yang harus diseberangi. Setelah itu nampaklah sang “Muara” menjulang tinggi. Mungkin sekitar 50 meteran lebih tingginya. Memang sih ga sebesar, setinggi dan sekenceng curug Seribu, tapi justru disitulah kelebihannya, karena lebih aman untuk berenang atau bermain air. Hanya ada satu grup saja yang terlihat mengunjungi curug saat itu. Itupun tak lama kemudian mereka pulang tepat saat kedatangan kami.

Makan dulu euy...
Jernihnya air membuat ingin meneguknya. Batu-batuan yang besar seakan kokoh menjulang menjadi pasak, dan membelah deras aliran air. Alhamdulillah cuaca saat itu mendukung sekali, tidak hujan dan juga tidak panas. Kami segera berfoto-foto ria. Lantas mencari tempat untuk membuka bekal. Kebetulan Qodarullah ada yang membawa tiga bungkus nasi padang. Jadilah kami berkerubutan -dalam istilah jawanya bancakan- atau makan bersama-sama. Hmm... betapa nikmatnya kebersamaan.
Setelah makan, Abdul, Kholid, Zulpan langsung ganti baju dan berenang, adapun Restu masak popmi dulu baru menyusul, sedangkan si Hafidz sepertinya hunting foto. Aku? Ha2... seperti biasa, jaga kompor aja... menikmati keindahan alam sambil menyeduh kopi hangat, sambil menyiapkan air panas buat temen-temen yang nanti membutuhkan. Ingin rasanya ikut berenang, tapi dinginnya air membuatku mengurungkan niat. Menikmati ciptaan Allah yang masih belum terjamah tangan usil manusia itu benar-benar istimewa. Sebuah relaksasi alami yang dapat mengendurkan tegangnya urat saraf dan otot-otot yang terus diforsir demi tuntutan kehidupan.

Tau nih agi nyari apa
Setelah puas berenang, kami berkumpul lagi. Ada yang ganti pakaian, ada yang menikmati popmi. Seketika datanglah 3 bocil. “Maaf ya kak, waktunya sudah habis.” Ooo, ternyata ada waktunya ya. Kutengok jam tangan saat itu, jarum menunjukkan pukul 17.10. Si Abdul sempat dialog ringan dengan salah seorang bocah tersebut, sepertinya dia yang paling tua, perempuan, sedangkan yang lainnya laki-laki. “Kelas berapa?” tanya Abdul. “Kelas 2 SMP,” jawabnya singkat.
“Tiap hari di sini?”
“Iya kak, tiap pulang sekolah, jualan kopi.”
“Wah hebat. Yang rajin ya sekolahnya. Juara kan?”
“Iya alhamdulillah juara 2.”
Subhanallah, luar biasa benar perjuangan anak kecil ini. Disaat anak-anak kecil yang lain dimanjakan oleh ged-ged, dia berjuang membantu ibunya tiap hari pulang sekolah berjualan kopi. Dan jualannya itu lho, di tengah hutan. Semoga kelak cita-citamu tercapai nak. Dan terima kasih sudah mengingatkan kami tentang pentingnya menuntut ilmu dan semangat dalam memperjuangkannya.

Jernihnya airnya...

Diliat dari mana ja tetep istimewa
Akhirnya setelah kemas-kemas selesai kami meneruskan pejalanan pulang. Lebih memakan waktu karena bakal lebih banyak nanjaknya daripada turunya. Tapi tenang saja, sepanjang perjalanan banyak disediakan pondok-pondok untuk istirahat dan berteduh kok. Ingin rasanya buka tenda dan menginap barang semalam saja. Sepanjang perjalanan, si Hafidz dan Restu banyak bercakap-cakap menggunakan bahasa sunda. Jadinya lieur euy... he2... Pukul 18.00 akhirnya kami tiba di tempat parkir. Kami langsung pamit saja setelah membayar ongkos parkir 5.000 permotor. Si Zulpan memberi info –setelah menghitung Km di speedonya- bahwa jarak yang kami tempuh adalah 75 Km. Hmm... ternyata lumayan juga. Kami pun langsung tancap gas membelah gelapnya hutan. Dari atas terlihat indahnya kerlap-kerlip  kota Bogor. Dan tak lupa di tengah jalan kami mampir dulu membeli duren... he2... pokoknya hari ini amazing banget. Makasih ya teman-teman yang sudah menemani trip kali ini. Semoga ga kapok, dan kapan kita jalan bareng lagi.... Wassalam....

Cipayung, 25 Desember 2015

Galeri Foto

Sampai ketemu lagi!!
Bekal kami

Sayang banget ya, masih ada sampah berserakan.. :(

Subhanallah deh pokoknya... 
Sungainya ngangenin

Batuannya juga ga kalah indah

Estimasi Biaya

Tiket masuk kawasan: Rp 25.000 per motor
Parkir tiap objek: Rp 5.000 per motor
Tiket masuk Curug Muara atau Seribu: Rp 7.000 per orang

Thanks to:

1. Allah ‘azza wa jalla
2. Teman-teman seperjalanan: Abdul, Zulpan, Kholid, Restu, Hafidz


4 komentar:

  1. Pengalaman yang sungguh menarik... ingin rasanya mencoba kesegaran "Muara"... Salam lestari...

    BalasHapus
  2. huuuuuu sayanggg, aku ga diajakkkkk....hehehe

    BalasHapus
  3. huuuuuu sayanggg, aku ga diajakkkkk....hehehe

    BalasHapus

 

Perhatian!!!

Boleh Co-Pas asal jangan sampai merubah makna dari isi artikel. Dan juga tolong dicantumkan sumbernya ya... Syukron, baarokallahu fiekum...

Blogroll