“Ayo prik maen ke curug!”
ajak Abdul, orang yang paling bersemangat dalam trip kali ini. Yah, memang bisa
dimaklumi, kita semua memang sudah lelah dan jengah, karena tiap hari
dihadapkan dengan hiruk pikuk kehidupan ibukota. Macet adalah santapan setiap
pagi dan sore, suara klakson adalah alunan musik yang wajib didengar di setiap
perjalanan, dan racun polusi seakan-akan sudah mencampuri setiap oksigen yang
kita hirup. Ditambah lagi, hari ini adalah malam terakhir kami begadang untuk
ujian. Lengkap banget dah pokoknya alasan buat mencari kesegaran dan memanjakan
mata dengan hijaunya alam. “Selasa pagi gimana Dul?” aku memberikan
option selasa, agar lebih leluasa karena ujian berakhir pada hari Senin. “Jangan! Selasa aku dah pulang Pri... Abis
ujian kita langsung berangkat aja!” tukas Kholid menimpali. “Hmmm... Ok deh aku ngikut aja, tapi
konsekuensinya kita pulang agak malaman ya...”
Setelah woro-woro di grup kampus, maka terbentuklah tim kita kali
ini, terdiri dari 5 anak muda dan seorang bapak muda. He2... Zulpan, dia yang
jadi pasangannya Abdul, yang paling ngebet pengen maen aer dan mampir ke
pemandian aer panas. Ada sih, tapi dari awal aku dah prediksi gak akan nyukup
waktunya, tapi aku diem aja biar tetep semangat mengarungi perjalanan... he2,
sori ya pan...
Hafidz, dari awal memang sudah minat kalo diajak jalan-jalan,
denger-denger sih pengin belajar biar bisa fotogenik, bagus dan natural saat
difoto, terutama pas selfi kaya si Abdul. Tapi orang Sunda yang satu ini
pengennya nebeng aja, katanya sih motornya ga kuat buat nanjak. Ok deh fidz,
santai aja, selalu ada tumpangan buat kamu.
Restu, orang yang ga terprediksi bakal ngikut ini ternyata
tiba-tiba nyamperin dan pengen ikut. Selidik punya selidik, ternyata ada udang
di balik rempeyek... Dia pengen sekalian mudik ke kampung kelahirannya,
Sukabumi, jadi nantinya turun di Baranangsiang Bogor. Ha2, tapi tak mengapalah,
asik ko jalan ma kamu Res, karena nanti kamu dengan jaket merahmu yang membara
dan helm ijaumu yang menyala, jadi patokan mudah buat temen-temen yang jalan di
belakang. Yups, Restu nantinya memang bonceng aku.
Sisanya 2 orang, si Abdul, ma Kholid yang jadi pembuka di cerita
ini. 2 anak ini kayanya yang paling seneng di foto. Tau dah kenapa, efek dari
jomblo kali ya... he2....
Perjalanan 3 jam yang Melelahkan
Alhamdulillah, ujian
terakhir udah kelar, pukul 09.30, kami sudah keluar dari kelas. Lantas kumpul
sebentar di depan kantin, dan disepakati kumpul di masjid Ruhama, tempat
tinggalnya si Abdul. Sempet tertunda karena miss komuikasi antara aku dan
abdul, katanya suruh jemput si hafidz, ternyata hafidznya udah di tempat
kumpul, lagian aku juga belum tau di mana mesjid ruhama itu. Buat pelajaran
ajalah, lain kali kalau pilih tempat kumpul harus yang diketahui semua anggota.
Akhirnya pukul 11.00 kami berangkat.
Sesuai kesepakatan final, kita akan bareng-bareng jalan ke kawasan
wisata GSE. Gunung Salak Endah di Bogor. Kami menggeber motor, membelah
kemacetan, menelusuri jalan raya Bogor, jalan legendaris dan jalan utama yang
menghubungkan antara Jakarta-Bogor. Tanpa diduga, ada razia polisi. Restu
sempat panik dan meminta untuk menyelinap diantara mobil, tapi aku tenang aja
karena dokumen lengkap. Sedangkan Kholid dan Hafidz terlihat mencoba
minggir-minggir agar tak terlihat ma pak polisi, tapi akhirnya malah kejaring
juga. Ha2, mana pajeknya mati 4 tahun lagi. Tapi alhamdulillah ga kena
tilang, karena memang pajak pada dasarnya urusannya bukan dengan polisi, Cuma
kadang memang ada oknum yang mempermasalahkannya, mencari-cari kesalahan
pengendara. Pokoknya sebagai tips aja, kalau jalan jangan sampai lupa sama SIM
ma STNK, biar ga merusak suasana traveling.
Perjalanan berlanjut. Sebelum masuk ke wilayah
Cibinong, kami terjebak macet, karena ada penyempitan jalur. Kendaraan yang
menuju Bogor dioper ke jalur yang menuju ke Jakarta, sehingga, jalur yang
tadinya searah menjadi dua arah. Usut punya usut, ternyata sedang ada
penertiban dan penggusuran. Banyak sekali satpol PP berseliweran, sampai-sampai
beberapa traktorpun dikerahkan. Ternyata yang digusur para penjual bunga yang
berjejer banyak di pinggir jalan. Yah, yang sabar ya pak-bu, semoga ja ini demi
kebaikan bersama.
Kami terus melanjutkan perjalanan, Zulfan yang semalam begadang
akhirnya menyerah dan gak kuat jadi sopir. Pergantian posisi pun terjadi,
Zulpan dibonceng Hafidz, dan Abdul dibonceng Kholid. Adapun aku masih tetap
setia dengan Restu. Lalu lintas kali ini memang cukup padat karena memang
sedang musim liburan panjang. Pegawai-pegawai pada libur tahun baru dan Natal,
sedangkan para mahasiswa dan anak sekolah juga sedang libur pergantian
semester.
“Masih jauh ga pri?”
tanya kholid yang sepertinya sudah mulai kelelahan. “Deket ko,” jawabku
coba menghibur. Menurut prediksiku perjalanan masih satu jam lagi, mengingat
kami saat itu baru sampai di IPB Bogor.
Tak berselang lama, jalanan mulai sepi, hijaunya pepohonan mjulai
menghiasi kanan kiri jalan. Udara dinginpun mulai menusuk, dan jalanan mulai
menanjak. Yups, akhirnya kami sudah meniti jalur menuju kawasan wisata.
Toko-toko mulai jarang terlihat, dan rumah-rumah pun mulai berjarak. Jalanan
yang tadinya mulus, mulai banyak lubangnya. Dan yang menjadi ciri khas adalah
banyaknya polisi tidur yang tingginya cukup menyakitkan. Sampai
terlompat-lompat mio putihku waktu menerjangnya. Jadi kasihan ma Restu, karena
shock-nya memang sudah mati. Ha2... ga bisa ngebayangin dah pokoknya yang
penting nikmatin aja Res...
Sebelum sampai ke pintu
masuk, kami menyempatkan diri mampir di alfamart, sekedar untuk meluruskan
pinggang dan juga belanja aer, camilan dan popmie. Sekedar tips saja, usahakan
jangan jajan di tempat wisata, dijamin menguras kocek.
“Pri sepertinya Kholid ma Abdul ga kuat nanjak motornya,” teriak Zulpan ngasih info ke aku. Alhamdulillah, kami akhirnya
sampai di gerbang GSE. “Masa sih? Yawda kita tunggu aja.” Tak berselang
lama, tampaklah motor mereka, dengan sedikit merontga-ronta. Sebagai tips juga,
sebaiknya sebelum motor dipake buat ngetrip, gak ada salahnya diservis dulu,
minimal ganti oli lah... Saat itu kutengok jam di tangan menunjukkan angka 2.
Hmm, berarti perjalanan 3 jam sudah kita tempuh bersama demi sampai ke tempoat tujuan ini. Sempet khawatir
juga ma kondisi kawan-kawan, terutama yang kondisinya kurang fit karena energi
sudah habis terkuras buat ujian. Yah, semoga ja apa yang didapati nanti bisa
mengobati rasa lelah, dan gak kapok buat jalan bareng lagi.
Dari Curug Seribu beralih ke Curug Muara
“Berapa pak Tiket masuknya?”
“25 mas, untuk tiap motor dan 2 pengendaranya.”
“Lho, biasanya 20 aja pak?”
“Naik mas, lagian kami kan juga Cuma pelaksana,” ujar Petugas dengan seragam dinas kehutanan itu mencoba menjelaskan
kepada kami mengenai harga tiket masuk.
“Ada tiketnya ga pak?”
selidik Zulpan yang sepertinya kurang percaya sama si bapak.
“Abis mas... tadi tinggal dua doang.”
Yah, memang sih, biasanya 20 ribu saja untuk masuk kekawasan hutan
lindung atau taman nasional Gunung Salak ini, tapi mungkin sudah naik. Semoga
saja tak ada unsur penipuan di sini.
Akhirnya tiba juga di kawasan Hutan Lindung |
Rimbunnya pepohonan dan tanaman paku menyambut kami. Udara yang
segar dan hawa yang dingin merasuk ke tulang kami, namun kesegarannya
menyejukkan jiwa. Pepohonan pinus berjajar rapi kiri dan kanan, menambah syahdu
suasana. Perlahan tapi pasti, kami terus
melaju membelah hutan. Di sini kita harus hati-hati, mengingat jalanan yang
licin dan berlubang-lubang. Semoga ke depannya pemerintah lebih memperhatikan
infrastruktur di hutang lindung ini, mengingat kekayaannya yang luar biasa,
sangat sayang jika terbengkalai.
Zulpan dan Hafidz masih saja terus menggeber motornya, sedangkan
Kholid dan Abdul, memilih untuk menghentikan sejenak. Sudah dapat ditebak,
mereka berdua sudah tak tahan buat selfie. Aku pun ikut memarkir sang mio.
Setelah beberapa kali cklek, kami istirahat sejenak, si Abdul
penasaran melihat pohon-pohon di deres
atau disayat kulitnya untuk diambil getahnya.
“Ini pohon apa pak?” tanyanya
kepada seorang petugas yang sedang ada di hutan, tak jauh dari kami.
“Pinus mas.”
“Emang getahnya buat apa?”
tanyanya sambil mencolek getah dan membau-bauinya. Maklum juragan karet pasti
penasaran juga kalo liat yang beginian.
“Buat sabun, lilin, dan macem-macem lainnya,” terang sang bapak.
“Ooo....” kami hanya
manggut-manggut saja sok paham.
Sebenarnya aku tahu kalau itu pohon pinus, hanya saja memang
getahnya baru tahu kali ini jika banyak manfaatnya. Karena diantara pengetahuan
yang aku dapet dari kawan-kawan pendaki, kita harus hati-hati jika bikin api di
daerah hutan pinus, mengingat batangnya yang mudah terbakar. Bahkan sekalipun
dalam kondisi basah, maka dari itu juga bahan utama batang korek api terbuat
dari pohon pinus.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, karena tujuan utama adalah
curug Seribu. Bress.... tiba-tiba hujan
turun. Sempat galau juga, mau diterjang, atau pakai jas hujan dulu. Akhirnya
kami menepi sebentar, karena seingatku terakhir ke sini, jalan menuju gerbang
curug Seribu masih berupa bebatuan yang licin, jadi tak mungkin kita bisa jalan
kenceng menerjang hujan, yang ada malah jatuh nantinya.
Setelah memakai jas hujan, kami kembali jalan. Tapi kok terasa ada
yang aneh, seharusnya sudah tak jauh, tapi ini ko ga sampai-sampai. Malahan
kita tiba di gerbang curug Cigamea. Yaahhh... berarti kebablasan nih. Akhirnya
kita tanya penduduk, dan memang benar kita kebablasan. Puter deh jadinya. Usut
punya usut, ternyata tadi plangnya tertutup oleh 2 buah angkot yang sedang
parkir. Dan yang membikin aku kelewatan,
ternyata jalanannya sudah diaspal, ga seperti dulu yang masih bebatuan.
Alhamdulillah, pertanda bahwa ada peningkatan pelayanan, dan juga peningkatan pengunjung.
“Kanan mas,” seorang
petugas mencegat kami dan memberi komando ke tempat parkir. Setelah persiapan
dan packing ulang, kami pun langsung jalan menuju ke TKP, maklum hari sudah
mulai sore.
“Bayar tiket masuk dulu mas...”
cegat seorang ibu saat kami hendak masuk ke gerbang curug.
“Berapa bu perorang?” tanyaku
“7000”
“Lho kok naik? Perasaan dulu 5000 aja.”
“Iya mas, kalau liburan malah 7500,” jawab ibu sambil menghitung jumlah kami.
“Curug seribu atau Muara?”
“Lho ada dua ya? Kayaknya dulu cuma ada Seribu.’
“Iya baru mas”
“Bagusan mana bu emangnya?”
“Kalau yang udah-udah sih yang maen ke curug muara ngajakin
temennya lagi. Kalau musim ujan gini gak bisa maen aer di curug Seribu mah.”
Pintu masuk curug Muara |
Setelah diskusi sejenak kami memutuskan untuk mencoba curug Muara.
Kata Zulpan ma Abdul sih, kalau misal ga sesuai harapan balik lagi aja terus
putar haluan ke Seribu. Aku sih fine-fine aja, cuma ya apa cukup waktunya buat
perjalanan bolak balik mengingat dah jam segini, ha2... mereka belum tau sih
kalo jaraknya lumayan jauh.
Setelah membayar, kami menumpang sholat di kios si ibu dulu.
Kutengok jam sudah menunjukkan pukul 15.15. Harus segera beranjak nih.
Bismillah, kita lanjutkan perjalanan ke curug Muara.
Curug Muara, pesonamu takkan terlupa
“Mas tasnya nyangkut!”
tiba-tiba seorang ibu teriak ke arah kami –khususnya kholid-, saat kami
melintasi kiosnya. Kami hanya terbengong-bengong, bingung dengan apa maksudnya.
Ooo, ternyata si ibu hanya menggoda saja, Cuma bercanda. Tapi si kholid mah
lempeng-lempeng aja. Ga mudeng kayanya dia.
Menuruni tangga licin |
Perjalanan menuju curug terasa sangat sepi. Teman-teman mulai
merasa ragu, takut kalau sepi gara-gara kurang bagus. Tapi kalau menurutku sih
ini karena masih baru aja. Karena makadam –jalan dari batu-batuan yang disusun-
masih terasa baru. Dan itu terbukti ketika ditengah jalan berikutnya, kami
temui bapak-bapak yang sedang memecah batu dan menyusunnya dengan rapi agar
lebih mudah untuk dilewati.
Pada awalnya jalan yang kami lalui naik turun, tapi setelah
melewati posko yang bertuliskan “Curug Muara” jalanan cenderung turun. Yah memang
sudah sewajarnya, jalanan menuju curug selalunya turun. Kanan kiri kami melihat
rindangnya pepohonan yang bervariasi. Hanya saja kami tak menemui
hewan-hewanan, berbeda dengan curug yang terletak sebelum curug Muara, banyak
sekali kera berkeliaran.
“Masih jauh mas... jalannya makin lama makin kecil,” keluh seorang ibu-ibu dengan rombongannya yang berpas-pasan dengan
kami. Lantas kemudian bercerita kalau beliau-beliau memutuskan untuk balik
sebelum tiba di curug. Dan sepertinya juga menyarankan kami untuk kembali.
Jalannya masih bagus |
“O gitu ya bu, ga papa deh kita nyoba terus telusuri aja, mumpung
masih tenaga muda,” balasku sembari
pamit dan terus melanjutkan perjalanan. Dan tak selang lama, kami bertemu juga
dengan rombongan mas-mas dan mbak-mbak yang membersamai ibu-ibu tadi.
“Masih jauh ya mas? Kalo sama curug seribu jauh mana ya?” tanyaku.
“Wah masih ngeri curug seribu mas,” jawab salah seorang dari mereka.
Hmmm... Berarti menurut kalkulasiku jarak sudah tak terlalu jauh,
paling tidak kita sudah dapet setengahnya, karena dulu aku menempuh perjalanan
ke curug Seribu hanya membutuhkan waktu setengah jam.
Jalan semakin curam menurun, berganti dengan tangga-tangga yang
lumayan licin karena lembab dan sedikit tertutup lumpur atau tanah basah. Suara
derasnya sungaipun makin terdengar, pertanda curug sudah semakin dekat.
Kaya boyband aja nih.. :D |
Alhamdulillah, setelah
kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya sang curug terlihat juga.
Sebelum sampai ke TKP, kami terlebih dahulu menyebrangi sungai dengan
menggunakan jembatan bambu yang kondisinya masih sangat bagus. Kemudian
terdapat pos pengawasan dan kedai kopi. Lantas ada jembatan bambu lagi yang
harus diseberangi. Setelah itu nampaklah sang “Muara” menjulang tinggi. Mungkin
sekitar 50 meteran lebih tingginya. Memang sih ga sebesar, setinggi dan
sekenceng curug Seribu, tapi justru disitulah kelebihannya, karena lebih aman
untuk berenang atau bermain air. Hanya ada satu grup saja yang terlihat
mengunjungi curug saat itu. Itupun tak lama kemudian mereka pulang tepat saat
kedatangan kami.
Makan dulu euy... |
Jernihnya air membuat ingin meneguknya. Batu-batuan yang besar
seakan kokoh menjulang menjadi pasak, dan membelah deras aliran air.
Alhamdulillah cuaca saat itu mendukung sekali, tidak hujan dan juga tidak
panas. Kami segera berfoto-foto ria. Lantas mencari tempat untuk membuka bekal.
Kebetulan Qodarullah ada yang membawa tiga bungkus nasi padang. Jadilah kami berkerubutan
-dalam istilah jawanya bancakan- atau makan bersama-sama. Hmm... betapa
nikmatnya kebersamaan.
Setelah makan, Abdul, Kholid, Zulpan langsung ganti baju dan berenang,
adapun Restu masak popmi dulu baru menyusul, sedangkan si Hafidz sepertinya
hunting foto. Aku? Ha2... seperti biasa, jaga kompor aja... menikmati keindahan
alam sambil menyeduh kopi hangat, sambil menyiapkan air panas buat temen-temen
yang nanti membutuhkan. Ingin rasanya ikut berenang, tapi dinginnya air
membuatku mengurungkan niat. Menikmati ciptaan Allah yang masih belum terjamah
tangan usil manusia itu benar-benar istimewa. Sebuah relaksasi alami yang dapat
mengendurkan tegangnya urat saraf dan otot-otot yang terus diforsir demi
tuntutan kehidupan.
Tau nih agi nyari apa |
Setelah puas berenang, kami berkumpul lagi. Ada yang ganti pakaian,
ada yang menikmati popmi. Seketika datanglah 3 bocil. “Maaf ya kak, waktunya
sudah habis.” Ooo, ternyata ada waktunya ya. Kutengok jam tangan saat itu,
jarum menunjukkan pukul 17.10. Si Abdul sempat dialog ringan dengan salah
seorang bocah tersebut, sepertinya dia yang paling tua, perempuan, sedangkan
yang lainnya laki-laki. “Kelas berapa?” tanya Abdul. “Kelas 2 SMP,”
jawabnya singkat.
“Tiap hari di sini?”
“Iya kak, tiap pulang sekolah, jualan kopi.”
“Wah hebat. Yang rajin ya sekolahnya. Juara kan?”
“Iya alhamdulillah juara 2.”
Subhanallah, luar biasa
benar perjuangan anak kecil ini. Disaat anak-anak kecil yang lain dimanjakan
oleh ged-ged, dia berjuang membantu ibunya tiap hari pulang sekolah berjualan
kopi. Dan jualannya itu lho, di tengah hutan. Semoga kelak cita-citamu tercapai
nak. Dan terima kasih sudah mengingatkan kami tentang pentingnya menuntut ilmu
dan semangat dalam memperjuangkannya.
Jernihnya airnya... |
Diliat dari mana ja tetep istimewa |
Akhirnya setelah kemas-kemas selesai kami meneruskan pejalanan
pulang. Lebih memakan waktu karena bakal lebih banyak nanjaknya daripada turunya.
Tapi tenang saja, sepanjang perjalanan banyak disediakan pondok-pondok untuk
istirahat dan berteduh kok. Ingin rasanya buka tenda dan menginap barang
semalam saja. Sepanjang perjalanan, si Hafidz dan Restu banyak bercakap-cakap
menggunakan bahasa sunda. Jadinya lieur euy... he2... Pukul 18.00 akhirnya kami
tiba di tempat parkir. Kami langsung pamit saja setelah membayar ongkos parkir
5.000 permotor. Si Zulpan memberi info –setelah menghitung Km di speedonya-
bahwa jarak yang kami tempuh adalah 75 Km. Hmm... ternyata lumayan juga. Kami
pun langsung tancap gas membelah gelapnya hutan. Dari atas terlihat indahnya
kerlap-kerlip kota Bogor. Dan tak lupa
di tengah jalan kami mampir dulu membeli duren... he2... pokoknya hari ini
amazing banget. Makasih ya teman-teman yang sudah menemani trip kali ini.
Semoga ga kapok, dan kapan kita jalan bareng lagi.... Wassalam....
Cipayung, 25 Desember 2015
Galeri Foto
Sampai ketemu lagi!! |
Bekal kami |
Sayang banget ya, masih ada sampah berserakan.. :( |
Subhanallah deh pokoknya... |
Sungainya ngangenin |
Batuannya juga ga kalah indah |
Estimasi Biaya
Tiket
masuk kawasan: Rp 25.000 per motor
Parkir
tiap objek: Rp 5.000 per motor
Tiket
masuk Curug Muara atau Seribu: Rp 7.000 per orang
Thanks to:
1.
Allah ‘azza wa jalla
2.
Teman-teman seperjalanan: Abdul, Zulpan, Kholid, Restu, Hafidz
Pengalaman yang sungguh menarik... ingin rasanya mencoba kesegaran "Muara"... Salam lestari...
BalasHapushuuuuuu sayanggg, aku ga diajakkkkk....hehehe
BalasHapushuuuuuu sayanggg, aku ga diajakkkkk....hehehe
BalasHapusAyo reh... mampir ke bogor....
Hapus