Kebun teh, Kemuning |
Sendiri, tiada kawan di sisi, (jelaslah, libur 2 minggu,
kawan2 pada pulkam semua,,, yang tertinggal hanyalah mahasiswa miskin seperti
diriku ini… T_T) kuhabiskan waktuku kali ini dengan bercengkerama bersama Syekh
Google… Lelah mata ini memandang segala hiruk pikuk manusia, hingga ingin
rasanya pergi ke tengah rimba, memanjakannya dengan hijau dedaunan…
Entah mengapa tiba2 teringat akan hijau2 di sebuah kebun
teh, di kawasan Kemuning, Candi Cetho… Sebuah pemandangan yang unik, dengan
keramahan khas penduduk. Pernah ku bertanya pada seorang bapak2, “Masjide teng
pundi nggih pak?" (Masjidnya di mana ya pak?) Eh, bapak tadi malah kebingungan
dan balik tanya, “Masjid niku nopo mas?" (Masjid itu apa ya mas?) Ha2… Aku malah
di tunjukin ke sebuah pure kalo mau sembahyang atau sholat.
Itulah sebuah cuplikan dari serangkaian adegan konyol yang
kulalui
di tahun lalu. Jangan kau kira itu sebuah kisah konyol yang lucu,
bahkan sebaliknya, sebuah kisah konyol mengerikan, yang hampir berakhir dengan
sebuah tragedy yang bisa saja merenggut nyawa 4 orang anak manusia.
Berani karena Bodoh
“Teet…” bel berbunyi tanda waktu ujian telah habis. Seorang
mahasiswa tingkat 3 di Ma’had Abu Bakar Solo keluar dengan cengar-cengir
bahagia (kl om Jamrud bilang mirip kebo di sawah.. he2). Senyum itu bukanlah
tanpa alasan. Karena ujian kali ini adalah hari terakhir dari serangkaian ujian
yang melelahkan.
Beginilah suasana ma'had kl ujian, sepi... |
Persiapan Singkat dan Tak Padat
“Bawa apa ja mas?” tanyaku pada mas Agung, seniorku yang
sudah melanglang buana di dunia pendakian. “Beneran mau naik? Tanpa persiapan
gitu pri?” tanyanya meyakinkan. “Iya… Cuma semalem doang…” Bla, bla, bla…
setelah berbincang sebentar, akhirnya aku cuma membawa jaket, pakaian ganti,
dan jas hujan. Aku pun langsung kembali ke kampus. Di sana sudah menunggu 3
orang kurcaci yang juga gak jauh beda kaya aku, gak bawa apa2 kecuali tas
sekolah. Bahkan Rahmat di tasnya cuma ada buku2 pelajaran. Dia gak pulang
terlebih dahulu karena rumahnya cukup jauh. Setelah 1 jam persiapan berlalu,
kami pun berangkat menuju TKP dengan hati riang gembira.
4 lakon utama kisah ini |
Rapat Kerja di Masjid Basecamp
Dari sinilah kami diusir... T_T |
Jam 9 malam, kami tiba di Pasar Tawang mangu. Aku membeli
beberapa peralatan dan makanan, diantaranya senter, kaos tangan, roti, dan mie.
Kali ni ada tambahan pasukan 2 orang, temannya Fudhail, namanya lupa.. Total
kami menjadi 6 orang. Selama perjalanan, hawa dingin mulai merasuk, maklum,
gunung lawu itu terkenal akan udara dinginnya. Setelah tiba di basecamp, kami
istirahat di masjid. Sambil merapatkan komposisi pasukan.
Rahmat penunjuk jalan, Fudhail penyapu, dan berangkat jam
setengah 11. Itulah hasil kesepakatan rapat kami. Masih ada sisa waktu 1 jam
untuk tidur, kamipun segera merebahkan diri dan mencari pewe (posisi wuenak)
masing2. Tapi tetap saja aku gak bisa tidur karena belum terbiasa dengan udara
dingin.
Perjalanan Menuju Puncak
Aku, Rahmat, dan Sidiq, berdiri di depan loket masuk. Biaya
perorang kala itu 7500. Masih terngiang di telinga kejadian tak enak barusan.
Ya, ketika aku baru ja beranjak tidur di masjid, tiba2 dibangunkan oleh sang
penjaga, katanya sih pintu masjid mau dikunci. Kami hanya bisa pasrah dan
beranjak pergi.
Celingukan kumencari 3 orang yang tersisa. Eh ternyata
mereka sudah di depan menanti. Masuk menerobos lewat perkampungan penduduk.
Weleh2… bener2 nih anak, sukanya yang gratis2 mulu.
Kami pun berjalan dan terus berjalan menembus kegelapan
malam. Malam itu tak ada pendaki lain yang menyusul ataupun kami susul. Di tiap
pos kami berhenti dan beristirahat. Bahkan tidak di pos pun kami beristirahat.
He2, maklum, aku dan Siddiq baru pertama kali ni. Ingus mulai keluar terus,
karena hawa dingin semakin menusuk. Malam itu, kami benar-benar bersyukur,
karena cuaca amatlah mendukung. Cerah tak berawan. Menikmati kerlap-kerlip
bintang, dan indahnya lampu kota Magetan. Walaupun sebenarnya dari tadi aku
menahan cenut2, karena jalur Cemoro Sewu yang berbentuk anak tangga ini memang
bikin paha cekot2. Tapi kubulatkan tekad untuk terus melangkah. Sekalipun harus
merayap-rayap.
Sendang Drajad,di sinilah tempat wudhu kami. |
Sayup-sayup mulai terdengar adzan Shubuh. Kami masih dalam
perjalanan menuju pos 5. Hmm… Fajar mulai menyingsing. Segera kami mencari
tanah lapang untuk mendirikan sholat. Alhamdulillah, sampai juga kami di
pendopo Sendang Drajat. Cesss,,,, bergidik bulu roma ketika menyentuh air dari
Sendang Drajad. Bukan karena keramat atau apa, tapi karena dinginnya seperti
es. Jas hujanpun pun segera digelar setelah kami semua selesai berwudhu. Kali
ini sang penunjuk jalan yang menjadi imam, Rahmat tri. Duuuhhhh… Sholatnya lama
bener… Jujur ja waktu itu kurang khusyuk karena telapak kaki serasa ditusuk2 ma
jarum saking dinginnya.
Matahari mulai mengintip dari balik peraduannya, dan
mengubah segalanya menjadi kemerah2an. Cukup manis untuk dikenang, sekalipun
kami tak membawa alat dokumentasi. Biarlah memori ini tetap tersimpan di kepala
saja.
Warung sakti Mbok Yem |
Kami beristirahat di puncak Hargo Dalem, tepatnya di warung
sakti Mbok Yem. Setelah makan mie rebus plus telur dan teh anget, kami berjemur
sejenak di pelataran, bercengkerama dengan para pendaki lain, menikmati suasana
persahabatan khas pegiat alam bebas. Aku tak berniat untuk menyambangi puncak
tertinggi Hargo Dumilah, padahal jaraknya sangatlah dekat, mungkin perjalanan
20 menit. Entahlah, mungkin lain kali saja, kali ini aku sudah cukup merasa
capek.
Awal Tragedi
“Yuk turun, kerja nih ntar aku..” rajukku ke teman2. “Ok,”
jawab mereka. 2 orang diantara kami sebelumnya sudah turun duluan, yakni
temannya Fudhail yang terlupakan (namanya). Katanya sih perutnya sakit, dah gak
kuat nahan, makanya bis sholat tadi langsung turun lagi lewat jalur yang sama.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Sesuai kesepakatan, kami
berempat akan turun melalui jalur Cemoro Kandang. Setelah meninggalkan rumah
makan mbok yem, tersaji di depan kami sebuah pertigaan. Kami pun mengambil
jalur ke kanan. Mau tanya juga gak ada orang lain selain kami. Kata Rahmat sih,
ini juga jalur Cemoro Kandang, tapi kayaknya baru dibuka. Ha2.. Asal tahu aja,
itu adalah jalur menuju ke Ngawi, Jawa Timur, alias jalur ke Candi Cetho
(tentunya kami tahu hal ini setelah kejadian ini berakhir). Tapi itulah kami,
yang penting jalan aja, toh di dada kami masih tersimpan bara semangat anak
muda (atau lebih tepatnya kebodohan anak muda… He2,,,)
Tersesat di Tengah Hutan
Sabana yang memanjakan mata (sori, semua foto dari google, cz kita gak bawa kamera waktu itu...) |
“Kok berhenti?” tanyaku ke Rahmat. “Potong jalur yuk! Ni
kalo kita turun ntar bisa ngirit tenaga,” jawabnya sambil menunjuk ke sebuah bukit
yang seolah2 menjadi tempat berlabuh nanti. “Okelah, aku ngikut ja…” Kami pun
meluncur, tanpa keahlian navigasi dan peralatan seperti kompas dan peta, lari
menuruni bukit2, masih dengan hati riang, tanpa mengetahui takdir yang masih
tersembunyi di hadapan kami.
Satu, dua, tiga, entah berapa bukit2 kecil yang telah kami
lalui. 2 jam kami terus berjalan, tapi belum ketemu juga ma jalur pendakian. Kekhawatiran
mulai menyelimuti hati kami. Bagaimanapun juga kami hanyalah sekumpulan anak
manusia yang tak bisa hidup tanpa berinteraksi dengan orang lain.
Berteriak-teriak kami hingga kerongkongan kering, tapi seolah2 tak ada tanda2
kehidupan. Kami hanya memiliki sebotol aqua yang berisi air keruh Sendang Drajad,
dan sebungkus kacang kulit. Akhirnya kami berhenti sejenak, dan memutuskan
untuk putar arah, balik kanan, berharap mendapati kembali jalur pendakian
semula. Aku berjanji dalam hati, kelak jika kembali melakukan ekspedisi tak
akan pernah keluar lagi dari jalur pendakian! Kecuali memang dalam rangka
latihan navigasi, tentunya dengan segala perangkat dan ahlinya.
Disinilah kami mulai merasakan
bahwa tidak ada daya dan upaya melainkan milik Allah semata. Kami senantiasa
berdoa, dan terus berjalan, tanpa saling menyalahkan, karena itu hanya akan
memperkeruh keadaan. Kami mencoba berfikir mengambil segala hikmah dari ujian
ini. Genangan air mata mulai terlihat di mata Sidiq, maklumlah, dia yang
termuda diantara kami. Dia sedih karena teringat akan ayahandanya. Adapun aku,
seolah2 seluruh dosa terbayang di pelupuk mata. Ya Rabb… Jangan kau matikan
terlebih dahulu hambamu yang penuh berlumur dengan dosa ini. Berikan kesempatan
bagiku untuk memperbaiki segala kesalahanku….
Sebuah Titik Terang
Ketika kau takut melangkah, maka
perhatikanlah seorang bayi,
bagaimana dia mencoba untuk berjalan. Maka kan kau
dapati bahwa setiap manusia itu pasti kan terjatuh. Namun hanya manusia
bermental bajalah yang mampu bangkit dari kejatuhannya. Karena hidup itu ibarat
menaiki sepeda. Agar kau tak terjatuh maka kau harus senantiasa menjaga
keseimbangan. Bagaimanakah caranya?
Dengan terus bergerak ke depan dan
senantiasa mengayuhkan kaki.
Diam bukanlah solusi. Yang bisa
kami lakukan hanyalah terus melangkah. Ya, melangkah dan melangkah, tanpa tahu
kemana arah dan tujuan. Hanya keyakinan kamilah yang menjadi sandaran dan alasan
untuk terus melanjutkan perjalanan. Kami memang gegabah, tapi kami tak akan
pernah menyerah. Karena kami yakin bahwa Allah itu Maha pengasih, tak akan
menyia2kan doa seorang hamba dan membenci hambanya yang putus asa..
Jalurnya ketutup tumbuhan, jadi harus disibak biar ketahuan. |
Dari kejauhan kulihat Sidiq sedang
menaiki sebuah bukit. Dia yang tadinya seolah2 berjalan bagai setengah lari,
tiba2 terduduk. Aku yang memang agak tertinggal, mulai khawatir, apakah dia
akan menyerah dalam perjalanan kali ini? Oh, tidak, semoga itu tak terjadi, tak
bisa kubayangkan bermalam di hutan tanpa perlindungan. Bisa2 terkena hipotermia
karena udara dingin khas pegunungan. Setelah mendekat, ternyata terlihat
semburat cahaya terpancar dari wajahnya. Wajah yang tadinya tertutup oleh awan,
mulai berganti secerah rembulan. Alhamdulillah, allahu akbar… Di depanku terlihat
jalan setapak, agak tertutup dengan rerumputan. Kami sangat gembira, seolah2
segala beban telah terlepas. Walaupun perjalanan entah masih sampai kapan kami
tak tahu, tapi dengan menemukan jalur pendakian ini, seolah2 aku mendapatkan
sebuah suntikan tenaga baru. Ya sejauh apapun perjalanan yang masih tersisa,
selama kami mengikuti jalur, aku yakin pasti akan ada ujungnya. Minimal akan
sampai ke pemukiman penduduk. Alhamdulillah… :)
Bertemu dengan Manusia
Di Cemoro Kembar inilah, kami diberi 1,5 Botol Aqua besar... |
Di belakang, terdengar suara derap
kaki, ternyata kami disusul oleh serombongan pendaki. Alhamdulillah, aku
semakin yakin bahwa kami telah berada di jalur yang tepat. Kami pun
mempersilahkan mereka untuk di depan, karena kami memang tak bisa berjalan
cepat. Wuuih.. Kulihat tas mereka sebesar2 badan orang dewasa. Mungkin rata2 80
liter bahkan lebih. Yang terdepan pun membawa golok cukup besar. Tak bisa
disangkal, jalur yang kami lalui ini memang banyak ranting2 yang menghalangi.
Bahkan mulai ditutupi oleh rerumputan setinggi lutut, sehingga perlu disibak
agar terlihat jalurnya. Pertanda bahwa jarang sekali dilewati oleh para
pendaki. Bisa aku simpulkan bahwa jalur ini hanya dilalui oleh orang2 tertentu,
yakni pendaki professional. Tak seperti kami, betapa menyedihkannya kondisi
kami saat itu.
Hari yang Cerah untuk Jiwa yang
Pantang Menyerah
Dibalik rumitnya rute yang kami
lalui kali ini, tak bisa dipungkiri, tersimpan berjuta keindahan yang menawan.
Hutan yang lebat, bunga2 yang bermekaran dengan alami, jernihnya udara yang
menyejukkan, kicauan burung yang bersahut2an, dan suasana gunung yang masih
sangat alami karena jarang terjamah oleh tangan2 serakah manusia. Hanya satu
yang kurang. Taka da sumber mata air. Walaupun sebenarnya sayup2 kami mendengar
suara gemuruh air sungai, tapi tak ada waktu dan tenaga yang tersisa untuk
mencarinya. Alhamdulillah, kami sempat mendapat sumbangan satu setengah botol
aqua besar dari para pendaki tadi. Mungkin mereka kasihan melihat kondisi kami
saat itu.
Berjam-jam kami terus menuruni
bukit2. Pos-pos pendakian sudah kami lalui, entah tiga atau empat. Sore sudah
mulai menjalar. Kami berpacu dengan waktu. Ya, jangan sampai kami melalui malam
di tengah hutan.
Untuk pertama kalinya di
sepanjanga perjalanan ini dadaku mengembang dipenuhi oleh rasa gembira. Tahukah
kawan mengapa? Karena aku melihat sebuah ladang. Ya, ladang penduduk yang hijau
ditanami dengan sayur2an. Bukan karena aku ingin mengambil sayurnya, tapi
karena itu pertanda bahwa kami sudah dekat dengan pemukiman penduduk. Walaupun
kaki sudah serasa lumpuh dan mata sungguh ingin diistirahatkan (karena
semalaman tidak tidur) kami masih tetap menjaga semangat untuk tetap melangkah.
Ini nih Candhi Kethek, tadinya mau sholat di halamannya tapi di larang Fudhail. |
Tak jauh dari candi Kethek
terdapat sebuah sungai yang sangat jernih. Kami pun bersih2 di situ. Kala itu
tak terpikirkan olehku untuk meminum airnya. Karena aku mengira sebentar lagi
sudah banyak warung terpampang di pinggiran jalan sepanjang Tawang mangu.
Awalnya kami agak kebingungan agar
bisa keluar dari komplek candi, tapi setelah berputar2 akhirnya ketemu juga
pemukiman penduduk. Alhamdulillah, lagi2 sebuah senyuman mengembang dari wajah
lusuh kami, yang mulai menguning, diterpa oleh sinar mentari sore hari. Sebuah
sore yang cerah, tersaji bagi jiwa yang hampir menyerah.
Badai belum Berlalu
“Lho, jalan rayanya mana?” tanyaku
polos. Yang kulihat hanyalah sebuah pasak bertuliskan Jenawi, nama desa yang
kami singgahi. “Iya, tawangmangunya masih jauh,” jawab Rahmat. Tulangku seakan
dilolosi, lemas tak berdaya. Rahmat berkali-kali minta maaf karena ekspedisi
kali ini tak berjalan sesuai rencana. Yah, bagiku mudah saja memaafkannya,
karena sudah selamat sampai sini pun aku sudah sangat bersyukur.
Haus mulai menggerogoti
kerongkonganku. Aku sudah tak tahan. Akhirnya aku meminum air dari irigasi.
Segar rasanya. Alhamdulillah… Fudhail dan Rahmat berpencar mencari pertolongan,
adapun aku dan Sidiq terseok-seok tertinggal jauh di belakang. Lelah yang
bertumpuk menghalangi kami untuk menikmati indahnya kebun teh yang terhampar di
kanan kiri sepanjang jalan.
“Cemoro Kandang masih jauh gak
pak?” tanyaku setelah beristirahat di salah satu rumah penduduk. “Cemoro
Kandang??” jawabnya malah balik tanya. “Iya pak, Cemoro Kandang, base camp
Pendakian Lawu di Tawang mangu,” jelasku. “Oo… Masih jauh mas, sekitar 25
kilo…” Glek… Allahu akbar… sejauh itukah kami tersesat? Berjalan 25 kilo lagi?
Hati kecilku berontak langsung menolak.
“Kalo mau ke sana gimana pak?”
tanyaku lagi. “Sampean ngojek dulu ke Kemuning karena di sini gak ada angkutan
mas. Nah, dari Kemuning nanti naik angkutan sampe terminal Tawangmangu, dari
sana nanti tinggal naik angkot ke arah basecamp pendakian,” jelasnya semakin
membuatku lemas. “Duuh, gimana ni Diq, kakiku bener2 dah gak kuat.” Sidiq hanya
menjawab, “Ya jalan pelan2 ja, sambil nunggu dua teman kita.” Okelah, kami
berduapun berjalan terseok2, kemudian memutuskan untuk sholat di pinggir kebun
teh, setelah itu tidur sambil menunggu 2 kawan kami. Ada sebuah pemandangan
unik. Ketika kami sholat, orang2 atau penduduk yang melintas melihat keheranan
ke arah kami. Usut punya usut, ternyata kampung yang kami singgahi ini adalah
kampung hindu. Sebagaimana aku paparkan di awal cerita, masjid pun mereka tak
tahu apa itu.
Kemudahan setelah Kesukaran
Setelah rebahan, kami memutuskan
untuk terus berjalan. Dari kejauhan kami melihat dua buah motor menghampiri
kami. Ternyata Rahmat dan kakaknya datang memberikan pertolongan yang sangat
berarti bagi kami. Alhamdulillah… Ternyata dia memiliki saudara di Kemuning.
Aku, Sidiq, dan Fudhail pun dilangsir menuju rumah kakanya Rahmat tri dengan
kedua motor tadi. Tepat adzan maghrib, kami tiba di kediaman beliau. Setelah
sholat, kami langsung dijamu bak seorang pemenang. Makan besar sepuasnya. Kata
seorang bapak sih, kami beruntung bisa selamat hingga menemukan perkampungan.
Tapi apapun itu, semua adalah takdir yang sudah Allah tentukan bagi kami. Terima
kasih mas, semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan bagi seluruh keluarga
mas…
Setelah Isya’, kami diantar dengan
mobil baru milik salah seorang saudara beliau. Katanya sih sekalian ngrayen
(entahlah dalam bahasa indonesianya apa, mungkin “uji coba”). Aku tak begitu
faham percakapan yang terjadi selama di mobil, karena aku langsung tertidur
diatas empuknya jok baru.
1,5 jam perjalanan telah kami
lalui, dan akhirnya tiba juga di base camp. Kami langsung menuju penitipan
motor, mengambil motor, kemudian pamit kepada para penolong kami. Dengan rasa
kantuk yang tertahan, kami pulang menuju kediaman… Alhamdulillah… Ekspedisi ini
berakhir dengan banyak sekali faidah yang bisa kami petik. Sungguh benar bahwa
pengalaman adalah guru terbaik bagi seseorang. Semoga kawan2 pembaca juga bisa
mengambil manfaat dari kisah ini. Wassalam…
Al
‘Ashimah, 10.10.13
Abdurrahman
al Fatih – Supriyadi
Thanks to:
1. Allah
‘azza wa jalla, atas kesempatan hidup yang diberikan untuk kami.
2. Rekan2
pendaki, Rahmat tri yang selalu mencoba menjadi ketua yang bertanggung jawab,
Siddiq yang memijat kaki2 kami ketika istirahat, Fudhail yang dengan sabar dan
setia selalu mengawal langkah2 kami, dan 2 teman Fudhail yang -mohon maaf-
namanya terlupakan.
3. Mas2
pendaki, atas 1,5 botol aqua besarnya, dan ternyata tanpa kami sadari, mereka
membantu membuka jalan agar mudah kami lewati, betapa banyak ranting2 yang
cukup besar sudah tertebas ketika kami lewati.
4. Keluarga
kakaknya Rahmat tri, atas segala pertolongannya, hanya Allah yang bisa
memberikan balasan dengan sebaik-baik balasan.
5. Bapak
penduduk yang memberikan pelatarannya untuk tempat singgah sementara kami.
6. Mbok
Yem, semoga warungnya sukses selalu.
dengan karyamu orang akan mengenal dan mengenangmu
BalasHapusaamiin...
HapusAkan sangat berarti bagi saya jika kawan2 mau memberikan masukan atau komentar... Bagi yang gak punya akun cukup pilih anonymous... :)
BalasHapusAlhamdulillah banyak ilmu yang bisa didapat
BalasHapusBanyak pelajaran yang bisa diambil
Banyak pula Hikmah yang menjadi cambuk bagi jiwa2 yang blm bisa mentadabburi indahnya alam dan kebersamaan.
Teruslah berkarya...............!
Insya allah... berkarya adalah tradisi ulama.... :)
Hapussebuah pengalaman yg tidak bisa dibeli dengan uang sebesar apapun.
BalasHapusdan mendaki gunung adalah letak sahabat sejati akan diuji.
Yups, benar sekali mas........... :)
Hapusdilain waktu kita lanjutkan lagi expedisi bareng-bareng kita bro :D
BalasHapus-mas bro tulisannya pake yang lengkap aja jangan di singkat-singkat gak baik buat kesehatan. opooooooooooooooo hahah
Ok man..... Iye besok tulian gak disingkat dech.... Ntar akhir semester kita ndaki bareng lagi, insya allah... disiapkan aje fisiknya.... katanya mujahid, harus kuat lah.........
Hapusya ! jiwa muda memang butuh tantangan,tapi ingat niat harus di luruskan bahwa kita berpetualang sebagai salah satu idad kita untuk menegakan dienul islam dan mengharap ridho Alloh.semoga kita termasuk orang2 yang di ridhoi Alloh.Amin
BalasHapusiya tadz... insya allah... semoga kita senantiasa diberikan kekuatan untuk menjaga niat...
HapusAllah ign mgjrkan kpd hambany tntg sswtu hal takut,cemas,khwtr tp smua itw tersiram dgn mengingatNy "alaa bidzikrillaahi tatmainnal quluub" ktka ujian itw dtg ana brtny Ya Allah hamba tw ini ujian cintamu tp knp trkdg dri ini msh mgeluh?,prtnyaan itw kmudian trjwb dr seorg ustdzah krn kt manusia biasa bkn malaikat, krn ana tau ktka ana mggtNya mk Ia mggt ana,& keajaiban Allah itw dtg kpd se2org yg mmprcyainy
BalasHapusPerjalanan yg menengangkan, gak kebayang klo aku yg nyasar, psti dah nyerah duluan. seperti aku di lawu dulu, (he gayane mlaku disiki, jebul malah nyasar muter jalan malahan) ada hikmah disetiap perjalanan kita, yg jelas selalu ada pertolongan dari Allah untuk hambanya yg mau berusaha & berdoa. (he gitu ya kong) :D
BalasHapussemangat maju terus kong....
Iya reh.... setiap perjalanan itu pasti ada hikmahnya, tentunya bagi orang2 yang mau mengambil pelajaran.... alhamdulillah pendakian pertamamu berjalan sukses tapi ya.... yang penting jangan pernah kapok reh..... :) akhir semester kita mau ekspedisi, kl mau ikut boleh...
HapusD' Good story mas........
BalasHapuske ragunan kemarin ditulis gak? he2
Hapusiya mas... tuliskan jg ea... trus masukin foto2 qt kmren... nnt klo s4 ane msukin foto2nya bru antm edit.... I Like...
Hapuskamu ajalah.. ntar tak posting disini... :)
Hapuskejadianya konyol bgt tadz...di gunung lawunya,
BalasHapuslanjutkan ekspedisinya mas. .saya tunggu ceritanya lg ;)
ya mas... biarpun konyol, yang penting ada manfaatnya buat kita semua... :)
HapusMasih banyak hal di semesta yang tak kita tahu
BalasHapusbahkan tak pernah kita tahu
Yah,, inilah kehidupan
Tiada kata yang mampu, sekecil apapun itu
dari kita
membuat kita bangga
-sesumbar sembari menepuk dada
Semesta yang kecil ini sudah pun seakan tak pernah mempunyai tepi
kalau begitu,
apakah nian kita yang seperti ini akan terlihat
sedikit berarti??
-Semburai senja pun tak pernah dusta
wah.. bahasane keduwuren... yusron iki mesti.... di syarh to....
Hapusiyo ki
Hapussaking ideidene ngendep kelamaen
haha
btw
lumayan og mas
memuaskan wlu gmbar e copas.. :v
gk mengecewakan
ahaha
Mantabz. Pengalaman yang sangat berharga. Salam kenal dari orang kemuning hheeee...
BalasHapus