“Kamu ko bisa nyasar ke ma’had gimana ceritanya?” Tanya
salah seorang teman sekosku yang juga kakak kelasku, baik ketika di Ma’had Abu
Bakar Solo maupun saat ini di LIPIA.”Waah, panjang mas ceritanya…” jawabku
singkat sambil tersenyum malu. He2… Yups, tulisan kali ini berawal dari dialog
singkat tersebut. Sebuah goresan ringan yang semoga bermanfaat bagi kawan2 yang
sudi menyempatkan waktunya untuk membaca… Next….
Latar Belakang Keluarga
Aku tumbuh di sebuah keluarga kecil, dengan penghasilan yang
kecil pula. Terlahir sebagai anak bungsu, dari 4 bersaudara, tak menjadikanku
sebagai anak manja. Walaupun tak dapat dipungkiri, perhatian ibuku terhadapku
jauh lebih besar daripada perhatiannya terhadap 3 kakakku yang semuanya
perempuan.
Sejak kecil pendidikan agamaku hanyalah di Sekolah dan TPA, maklum kedua orang tuaku hanyalah seorang pedagang lulusan SD. Tapi jangan salah, soal medidik anak beliau aku anggap cukup sukses (kecuali dari sisi agama saja). Hal ini aku sadari ketika melihat kualitas ketiga kakakku, selalu memiliki nilai akademik yang tinggi, bahkan bisa dikatakan langganan rangking satu. Dan akhlak mereka pun santun-santun khas orang jawa pedesaan, tidak neko-neko dan tidak pacaran (kecuali setelah lulus sekolah dan bekerja).
Ibuku adalah seorang pedagang yang tiap ba’da Shubuh harus
sudah berangkat ke pasar. Aku pun tentunya selalu membuntuti dari belakang.
Ketika menginjak usia 5 tahun, mungkin karena kenakalanku yang semakin menjadi,
beliau menitipkanku di SD tempat kakak-kakakku belajar. Niat awal bukan untuk
mendaftar, hanya sekedar titip, tapi entah kenapa di akhir tahun, guruku waktu
itu menaikkanku ke kelas dua.
Adapun Bapakku, beliau adalah tipe orang keras. Beliau
memang gak pernah mukul pake tangan, tapi kalo mukul selalu pake benda terdekat
yang bisa dijangkau oleh tangan, entah itu sandal, sepatu, tongkat, atau bahkan
bangku. Juga bekerja sebagai pedagang, tapi bedanya pedagang keliling, menjual
beras dan minyak tanah. Dahulu, beliau sering kali begadang tengah malam,
menghabiskan malam-malamnya bersama kawan-kawannya demi bermain kartu, tentunya
dengan taruhan, dan anehnya, aku juga sering ikut menemani ayahku begadang.
Entah kenapa, terasa nyaman saja berada di sisi beliau, sekalipun waktu itu aku
tak faham apa yang beliau kerjakan. Tapi Alhamdulillah, sekarang sudah taubat,
rajin sholat berjamaah di masjid, bahkan menjadi seorang ‘aktifis’, aktifis
yasinan maksudnya…
Yah, itulah sekilas mengenai keluargaku, kering dari nilai2
rohani, karena yang menjadi prioritas mereka adalah hubungan sesama (hablum
minannas) saja, adapun hubungan dengan sang Pencipta (hablum minallah)
terabaikan…
Beranjak Dewasa
“Kamu kok gak sholat?” Tanya salah seorang temanku kepadaku.
“Ntar kalo dah tua juga bakal sholat sendiri,” jawabku ringan. Astaghfirullah,
betapa mudahnya kata-kata itu keluar dari mulutku waktu itu, karena dalam benakku,
setiap orang pasti akan bertaubat di masa tuanya, padahal sejatinya kita tak
tahu berapa lama kontrak hidup kita di dunia ini. Kata-kata yang masih kuingat
jelas hingga kini, walaupun itu terjadi ketika aku masih mengenyam bangku SMP.
Bagiku saat itu, sehari bisa sholat 3 kali saja sudah sangat
bagus. Karena lembar mutaba’ahku (yang wajib diisi oleh tiap siswa) seringkali
terlihat seperti biji jagung muda, bolong-bolong. Kenakalanku pun juga mulai
bertambah, walaupun tak senakal teman-temanku.
“Nak, terserah kamu mau lanjutin ke SMA atau STM, tapi yang
pasti Bapak gak bisa nguliahin kamu,” jelas Bapakku. “Ya pak, Supri ke STM ja,
toh orang kuliah nanti ujung-ujungnya kerja juga,” jawabku santai.
Akhirnya akupun mengambil STM jurusan Grafika (desain). Di
STM ku ini agak lain, duduk di kelas hanya 2 tahun dan 1 tahun PKL (Praktek
Kerja Lapangan). Aku mendapat jatah PKL di Gramedia Jakarta. Di Jakarta ini aku
mulai tertib sholat 5 waktu, karena di tanah rantau ini aku untuk pertama
kalinya hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara, sehingga merasa hanya
kepada Allah-lah tempat mengadu. Tapi tetap saja masih sering telat-telat.
Terjebak Rutinitas
Setelah lulus STM, aku langsung ditarik bekerja di sebuah
percetakan spanduk di Serpong, Tangerang. Bosku kali ini adalah seorang
Chinness yang gila kerja. Kami, para karyawan, mendapat mess di lantai 3 dan 4,
adapun lantai 1 dan 2 digunakan untuk bekerja. Tinggal di sebuah ruko bagaikan
tinggal di penjara. Tiap harinya kami bekerja bahkan bisa lebih dari 12 jam.
Kerja, tidur bentar, bangun, makan, kerja lagi, itulah
rutinitasku sehari-hari. Terjebak dalam sebuah rutinitas adalah sebuah hal yang
sangat membosankan. Pada mulanya aku sangatlah bangga ketika lulus sekolah
langsung bisa bekerja. Tapi sekarang, saat-saat yang paling aku benci adalah
ketika check clock masuk, dan saat-saat paling membahagiakan adalah saat check clock
pulang.
Tujuan Hidup
“Kamu kerja itu buat apa?” tanya salah seorang teman baruku,
Luqman namanya. “Buat nyenengin ortu,” jawabku agak bingung. “Kalo tujuan
hidup?” Hmm… Apa ya, baru kali ini aku ditanya pertanyaan macam ini. “Hidup
mapan, punya anak istri, bahagiain ortu,” kira-kira begitulah jawaban asalku saat
itu. Lantas akupun diberi penjelasan bahwa tujuan jin dan manusia diciptakan
itu untuk beribadah kepada Allah. “Masa’ beribadah terus? Lha kerjanya gimana?
Masa gak makan minum?” jawabku menyangkal. “Itulah kesalahan kebanyakan manusia
saat ini, memahami ibadah hanya sebatas sholat, puasa, dan zakat. Coba fahami,
mawar dan melati itu termasuk jenis bunga, tapi bunga itu tak sebatas mawar dan
melati saja. Segala aktifitas itu jika diniatkan untuk ibadah, dan sesuai
dengan tuntunan rasul, maka akan menjadi ibadah di sisi Allah, bahkan maaf ni,
kencing aja kalo tata caranya sesuai tuntunan Rasul akan menjadi ibadah!”
jelasnya panjang lebar. Aku hanya bisa terbengong-bengong. Baru kali ini mendapat
penjelasan seperti ini.
Hidupku saat itu memang terasa hampa. Sering sekali
terlintas dalam benak, apakah aku akan seperti ini terus hingga mati nanti?
Bekerja siang malam tanpa mempedulikan hal-hal lain. Hati serasa kosong, kering
kerontang. Sepertinya ada sesuatu yang hilang. Pelarianku saat itu hanyalah
internet. Ya, aku punya hobi baru, yaitu chatting. Berkenalan dengan teman2
baru, saling tukar fikiran, hingga perasaan jenuhpun untuk sementara terobati.
Hingga aku secara naluriah mencari room-room (grup) islami. Alhamdulillah, aku
bertemu dengan seorang yang bernama Luqman tadi. Semoga persaudaraan karena
Allah ini akan senantiasa terjaga. Bertemu karena Allah, berpisah juga karena
Allah.
Hidup Baru dengan Semangat Baru
Aku bagaikan terlahir kembali.
Bagiku pintu awal seseorang mendapat hidayah adalah ketika ia tahu untuk apa
dia hidup di dunia ini. Tapi hidayah itu ibarat benih. Kau tahu benih? Dia akan
tumbuh subur dan kokoh ketika dirawat dan dijaga dengan baik, serta rajin
dipupuk dan disirami. Jika tidak, maka lama kelamaan akan layu dan mati.
Dengan semangat baru, aku mencoba
merawat dan memupuk hidayah yang mulai tumbuh di ladang hatiku. Banyak cara
yang aku tempuh, ada kajian via telpon memanfaatkan call converence, yaitu satu
panggilan untuk 5 orang, dan tiap orang nanti membawa beberapa orang lagi,
kemudian penanggung jawab nanti menelpon ustadz yang akan memberikan tausyah
kepada para peserta. Ada juga chatting, kami membuat grup khusus yang memiliki
jadwal kajian. Dan yang paling berkesan bagiku adalah ketika dikenalkan dengan
mas Angga Cnes. Bersama dengannya, aku mengikuti sebuah kajian rutin seminggu
sekali, disertai dengan beberapa agenda kegiatan islami. Dan yang paling
mengasyikkan kala itu adalah setelah
kajian, kami bersama-sama berlatih seni bela diri aikido. Jujur saja, ini
pertama kalinya aku belajar bela diri. He2… Ya, karena kata Pak Instruktur,
mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang
lemah…
Serpong – Pamulang
Pamulang, di sinilah kajian rutin
yang aku ikuti tiap minggu. Awalnya aku selalu dijemput oleh mas ANgga Cnes,
akan tetapi karena merasa tak enak, maka aku berencana membeli sepeda ‘onthel’
(kayuh) agar tidak terus merepotkan beliau.
Sepeda onthel telah berhasil aku
dapatkan, Alhamdulillah… Di suatu minggupun aku melakukan survey, mencoba
mengukur waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan Serpong – Pamulang.
Persiapan sudah oke, sepedapun aku kayuh. Wush, wush, wush, terkadang sepeda
aku kebut, tapi lebih sering santai, he2, maklum jalannya kadang naik sangat
tinggi. Akhirnya setelah beberapa waktu berlalu, sampai juga ke tempat kajian.
1,5 jam, itulah waktu tempuh yang aku butuhkan dalam perjalanan kali ini dengan
kecepatan santai.
Kuberanikan diri menghadap atasan
dan ijin untuk tidak lembur setiap hari rabu. Setelah ijin berhasil aku
kantongi, maka rutinitasku setiap hari Rabu adalah pulang kerja jam 5 sore,
langsung tancap gas menuju Pamulang, dan tiba di tempat kajian pukul setengah
7. Karena kajian dimulai ba’da isya’, maka aku harus tiba sebelum isya’, agar
tidak terlambat dan bisa mengambil nafas sejenak. Acara ta’liim dan olah raga
biasanya slesai jam setengah sebelas. Tak jarang aku pulang tengah malam dan
tiba di mess jam 1. Pernah suatu ketika aku kebocoran ban di tengah jalan,
padahal perjalanan masih sangat jauh. Akhirnya aku harus menuntun sepeda,
menembus kegelapan malam di tengah kesunyian, apalagi lampu-lampu di sepanjang jalan kala itu masih sangat jarang, terkadang
aku harus menunggu mobil atau motor yang melintas agar jalanan terlihat
kembali, dan baru tiba di mess kurang lebih jam 2 dinihari. Sebuah kenangan
manis yang patut untuk dikenang. Merintis upaya kecil, demi mejaga bibit kecil
dari pohon hidayah. :)
Insya Allah berlanjut ke Bunga
Rampai Kehidupan 2….
Batavia, 16.10.13
Abdurrahman al Faatih - Supriyadi
Akan sangat berarti bagi saya jika kawan2 mau memberikan masukan atau komentar... Bagi yang gak punya akun cukup pilih anonymous... :)
BalasHapusInsyallah, blognya menginspirasi banyak orang pak......
BalasHapusSemoga sukses menaklukan dunia dengan ilmu Allah......
Aamiin... mohon doanya....
Hapus:)) keren..
BalasHapusditunggu kisah selanjutnya hai Fatih..
:D
Sip....
HapusSejak kapan nma mas supri berubah mnjadi fatih... hhee
BalasHapusKeren mas... keep spirit and next on... :)
Ha2... itu rencana mau tak jadikan nama anakku kelak nu.... doakan ya...
Hapusbiar bisa jadi muhammad al fatih yang baru....
Hmm. mantab subhanallah kong, itulah pertama kalinya mas Abdurrahman al Faatih - Supriyadi (tak panggil kakong) krn dialah shbt yg bisa memberi nasehat/pertolongan/bahan candaan sperti tokoh komik kakong. hehehe semangat truussss kong, semoga selalu menjadi inspirasi.... :D :P
BalasHapusha2...insya allah selalu semangat reh.. doakan kita ya..... :)
Hapusjoss pak
BalasHapussemangat pak.... tak tunggu semester depan... :)
Hapusjoss
BalasHapuseh mas banu mampir... gimana kabar nih....
Hapus